Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Palangka Raya, dan Sederet Pemindahan Ibu Kota di Asia Tenggara
Indonesia tengah menyiapkan rencana untuk memindahkan ibu kota dari Jakarta ke Palangka Raya, Kalimantan Tengah. Pemindahan ini dikarenakan sudah begitu sesak dan padatnya Jakarta menanggung berbagai status sebagai ibu kota cum pusat perdagangan, industri, dan lain sebagainya. Sehingga apabila Palangka Raya dijadikan sebagai ibu kota baru alias cuma mengurus masalah pemerintahan dan administrasi tata negara, segala kepadatan yang ada di Jakarta bisa diminimalkan. Pemindahan ini juga akan memeratakan ekonomi sebagaimana yang diharapkan Soekarno dalam beberapa amanatnya tentang perlunya memindahkan pusat pemerintahan ke luar Jawa, terutama Kalimantan, yang dianggap paling tepat dan aman dari bencana alam seperti gunung berapi dan gempa bumi.
Memang untuk merealisasikan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Kalimantan Tengah yang dibangun pada 1957 bukanlah perkara mudah. Banyak aspek yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan. Baik dari sisi positif maupun negatif. Namun, jika itu memang sesuatu yang positif, seharusnya hal ini didukung sebab tujuannya adalah memakmurkan Indonesia, dengan tidak menjadikan Jawa sebagai segala-galanya. Wacana pemindahan ibu kota ini bagi saya bukanlah lagi wacana jika melihat keseriusan pemerintah dengan melakukan kajian-kajian spasial dan geografis, serta kependudukan. Apalagi Palangka Raya yang luasnya empat kali lipat dari Jakarta mampu menampung permasalahan yang kerap terjadi di Jakarta seperti kependudukan. Akan tetapi ibu kota yang baru jelas harus menjadi ibu kota yang benar-benar hijau, dengan banyak lahan untuk taman dan hutan kota di dalamnya sehingga terlihat lebih manusiawi. Juga tidak ada berita penggusuran di sana-sini. Apabila Palangka Raya benar-benar menjadi ibu kota, ia seharusnya juga menjadi pengawas segala aktivitas di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Jalur transportasi ke perbatasan juga harus dipercantik lagi. Toh, dengan Palangka Raya menjadi ibu kota dampaknya juga akan terasa ke seluruh Kalimantan. Pulau itu tidak lagi terasing dan bakal ramai. Namun dalam artian yang positif. Ada keuntungan ekonomis yang bakal didapat. Di sinilah letak pemerataan ekonomi itu.
Berbicara tentang pemindahan ibu kota, terutama di Asia Tenggara, hal tersebut bukanlah hal asing sepanjang sejarah negara-negara di Asia Tenggara. Jauh sebelum wacana pemindahan ini digulirkan selama masa pemerintahan para Presiden RI dari Soekarno hingga Jokowi, telah banyak terjadi pemindahan ibu kota di kawasan ini. Pemindahan terjadi bukan karena masalah ekonomi semata, tetapi juga karena peperangan, bencana alam, dan peralihan kekuasaan. Di Indonesia pemindahan ibu kota sudah sering terjadi. Terutama pada masa Indonesia masih berupa negara-negara kerajaan kecil. Dari masa Sriwijaya dan Mpu Sindok hingga masa kesultanan-kesultanan Islam. Di luar Indonesia, pemindahan ibu kota terjadi di beberapa negara di ASEAN. Seperti di Kamboja, yang memindahkan ibu kota dari Angkor ke Phnom Penh pada 1372. Pemindahan dilakukan mengingat Angkor yang sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota setelah penyerangan oleh Ayutthaya dan terjadinya bencana ekologis. Kemudian di Thailand, negara tetangga Kamboja yang memindahkan ibu kota dari Ayutthaya ke Bangkok pada 1782 setelah diserang secara habis-habisan oleh Dinasti Konbaung dari Myanmar. Di Vietnam, pemindahan ibu kota juga terjadi pada masa Dinasti Nguyen, dinasti terakhir di Vietnam, dari Hanoi ke Hue. Akan tetapi setelah kedatangan Prancis, ibu kota kembali lagi ke Hanoi hingga sekarang. Di masa setelah kolonialisme berakhir di Asia Tenggara atau masa kontemporer, pemindahan ibu kota terjadi di Malaysia dan Myanmar. Pada 1999, Malaysia memindahkan sebagian perangkat pemerintahannya ke Putrajaya dari Kuala Lumpur untuk memindahkan beban kepadatan yang terjadi di ibu kota Malaysia itu. Lalu pada 2006, Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw karena alasan untuk memusatkan kekuatan militer dan pemerintahan Myanmar. Apalagi Naypyidaw terletak di tengah-tengah Myanmar.
Tentu berkaca dari sejarah-sejarah pemindahan ibu kota yang kerap terjadi di Asia Tenggara akan ada banyak konsekuensi yang didapat. Akan tetapi hal itu harus dihadapi. Namun konsekuensi-konsekuensi yang bakal dihadapi merupakan perwujudan dari yang sudah dikonsepkan. Dalam hal ini saya hanya berpikir positif bahwa pemindahan ibu kota supaya segala sesuatunya tidak tersentralisasi dan semua merata. Apabila Palangka Raya benar-benar menjadi ibu kota, semoga saja ia bakal seperti Bangkok yang dibelah oleh sungai besar, seperti Canberra yang banyak danau dan hutan kota serta lahan hijau, dan Brasilia yang di dalamnya bakal banyak bangunan kontemporer dan artistik. Semoga!
travel.kompas |
Memang untuk merealisasikan pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Kalimantan Tengah yang dibangun pada 1957 bukanlah perkara mudah. Banyak aspek yang harus dipikirkan dan dipertimbangkan. Baik dari sisi positif maupun negatif. Namun, jika itu memang sesuatu yang positif, seharusnya hal ini didukung sebab tujuannya adalah memakmurkan Indonesia, dengan tidak menjadikan Jawa sebagai segala-galanya. Wacana pemindahan ibu kota ini bagi saya bukanlah lagi wacana jika melihat keseriusan pemerintah dengan melakukan kajian-kajian spasial dan geografis, serta kependudukan. Apalagi Palangka Raya yang luasnya empat kali lipat dari Jakarta mampu menampung permasalahan yang kerap terjadi di Jakarta seperti kependudukan. Akan tetapi ibu kota yang baru jelas harus menjadi ibu kota yang benar-benar hijau, dengan banyak lahan untuk taman dan hutan kota di dalamnya sehingga terlihat lebih manusiawi. Juga tidak ada berita penggusuran di sana-sini. Apabila Palangka Raya benar-benar menjadi ibu kota, ia seharusnya juga menjadi pengawas segala aktivitas di perbatasan Indonesia dengan Malaysia. Jalur transportasi ke perbatasan juga harus dipercantik lagi. Toh, dengan Palangka Raya menjadi ibu kota dampaknya juga akan terasa ke seluruh Kalimantan. Pulau itu tidak lagi terasing dan bakal ramai. Namun dalam artian yang positif. Ada keuntungan ekonomis yang bakal didapat. Di sinilah letak pemerataan ekonomi itu.
Berbicara tentang pemindahan ibu kota, terutama di Asia Tenggara, hal tersebut bukanlah hal asing sepanjang sejarah negara-negara di Asia Tenggara. Jauh sebelum wacana pemindahan ini digulirkan selama masa pemerintahan para Presiden RI dari Soekarno hingga Jokowi, telah banyak terjadi pemindahan ibu kota di kawasan ini. Pemindahan terjadi bukan karena masalah ekonomi semata, tetapi juga karena peperangan, bencana alam, dan peralihan kekuasaan. Di Indonesia pemindahan ibu kota sudah sering terjadi. Terutama pada masa Indonesia masih berupa negara-negara kerajaan kecil. Dari masa Sriwijaya dan Mpu Sindok hingga masa kesultanan-kesultanan Islam. Di luar Indonesia, pemindahan ibu kota terjadi di beberapa negara di ASEAN. Seperti di Kamboja, yang memindahkan ibu kota dari Angkor ke Phnom Penh pada 1372. Pemindahan dilakukan mengingat Angkor yang sudah tidak layak lagi menjadi ibu kota setelah penyerangan oleh Ayutthaya dan terjadinya bencana ekologis. Kemudian di Thailand, negara tetangga Kamboja yang memindahkan ibu kota dari Ayutthaya ke Bangkok pada 1782 setelah diserang secara habis-habisan oleh Dinasti Konbaung dari Myanmar. Di Vietnam, pemindahan ibu kota juga terjadi pada masa Dinasti Nguyen, dinasti terakhir di Vietnam, dari Hanoi ke Hue. Akan tetapi setelah kedatangan Prancis, ibu kota kembali lagi ke Hanoi hingga sekarang. Di masa setelah kolonialisme berakhir di Asia Tenggara atau masa kontemporer, pemindahan ibu kota terjadi di Malaysia dan Myanmar. Pada 1999, Malaysia memindahkan sebagian perangkat pemerintahannya ke Putrajaya dari Kuala Lumpur untuk memindahkan beban kepadatan yang terjadi di ibu kota Malaysia itu. Lalu pada 2006, Myanmar memindahkan ibu kota dari Yangon ke Naypyidaw karena alasan untuk memusatkan kekuatan militer dan pemerintahan Myanmar. Apalagi Naypyidaw terletak di tengah-tengah Myanmar.
Tentu berkaca dari sejarah-sejarah pemindahan ibu kota yang kerap terjadi di Asia Tenggara akan ada banyak konsekuensi yang didapat. Akan tetapi hal itu harus dihadapi. Namun konsekuensi-konsekuensi yang bakal dihadapi merupakan perwujudan dari yang sudah dikonsepkan. Dalam hal ini saya hanya berpikir positif bahwa pemindahan ibu kota supaya segala sesuatunya tidak tersentralisasi dan semua merata. Apabila Palangka Raya benar-benar menjadi ibu kota, semoga saja ia bakal seperti Bangkok yang dibelah oleh sungai besar, seperti Canberra yang banyak danau dan hutan kota serta lahan hijau, dan Brasilia yang di dalamnya bakal banyak bangunan kontemporer dan artistik. Semoga!
0 Response to "Rencana Pemindahan Ibu Kota ke Palangka Raya, dan Sederet Pemindahan Ibu Kota di Asia Tenggara"
Post a Comment