-->

Chulalongkorn: Sang Siwilai Pengubah Thailand

Dia dianggap sebagai salah ratu raja terbesar di Thailand. Pengadopsiannya terhadap segala sesuatu yang berbau Barat menjadikan Thailand cukup maju dan disegani. Sosok yang juga menyelamatkan Thailand dari kolonialisme Eropa.

Chulalongkorn atau Rama V dalam telinga masyarakat Indonesia, khususnya pecinta sejarah, akrab dengan patung gajah kecil yang berdiri tegak menghadap ke arah Monas di Museum Nasional. Patung gajah kecil itu merupakan pemberian sang raja ketika beliau berkunjung ke Indonesia, yang ketika itu masih bernama Hindia-Belanda, pada 1871 untuk melakukan hubungan diplomatik dengan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda. Akibat patung itu, Museum Nasional pun populer dengan sebutan Gedung Gajah atau Museum Gajah.
www.wa.austhai.biz


Namun patung gajah kecil hanya sepetik kisah dari Chulalongkorn, raja yang oleh masyarakat Thailand dianggap sebagai raja terbesar yang melakukan banyak reformasi dalam kerajaan dan masyarakat. Lahir pada 20 September 1853 di istana kerajaan di Bangkok, Chulalongkorn, yang bernama lengkap Phra Bat Somdet Phra Poraminthra Maha Chulalongkorn Phra Chunla Chorm Klao Chao Yu Hua, merupakan putra dari Raja Mongkut (Rama IV) dan Ratu Debsirindra. Ayahnya, Raja Mongkut, merupakan raja yang memulai modernisasi ala Barat terhadap Thailand, yang ketika itu bernama Siam.
Chulalongkorn merupakan raja kelima dari Dinasti Chakri, dinasti yang berhasil mengakhiri kekuasaan raja Taksin, raja dalam sejarah Thailand yang berdarah Cina dan dinasti yang hingga hari ini masih memimpin Thailand. Semasa kecilnya oleh sang ayah ia sudah dikenalkan dengan kehidupan ala Barat. Sang ayah menyuruhnya belajar bahasa Inggris pada Anna Leonowens, seorang guru bahasa Inggris yang disewa oleh Siam sebagai bekal untuk Chulalongkorn di masa depan. Mongkut menginginkan Chulalongkorn mempunyai kecakapan diplomatis dengan cara belajar bahasa asing dalam menghadapi utusan-utusan politik negara-negara Barat di sekitar Siam. Ketika Mongkut berkuasa situasi politik di Siam dan sekitarnya sudah agak berubah. Tetangga-tetangga kerajaan itu satu per satu dikuasai Eropa, termasuk Myanmar, yang diperintah Dinasti Konbaung, musuh tradisional Siam, dikuasai Inggris. Siam pun menjadi satu-satunya negara di Indocina yang masih terlihat bebas dari cengkraman kolonialisme Eropa. Namun, Siam juga harus merelakan beberapa wilayahnya di Laos, Kamboja, serta di Thailand Selatan diambil oleh para kolonialis. Keadaan yang demikian sering membuat Siam bentrok dengan para kolonialis itu, terutama Prancis. Dalam pandangan kedaulatan, Siam ketika itu masih memakai konsep politik mandala yang berdasarkan upeti, bukan garis batas ala Eropa. Inilah yang kemudian perlahan diubah oleh Mongkut yang kemudian dilanjutkan oleh Chulalongkorn.
Chulalongkorn memang mewarisi situasi geopolitik yang demikian selepas meninggalnya sang ayah pada 1 Oktober 1868 karena sakit. Setahun sebelumnya, ia memimpin ekspedisi penaklukkan ke Semenanjung Melayu. Chulalongkorn masih berusia 15 tahun ketika sang ayah mangkat. Usia yang masih belum bisa dikatakan dewasa untuk menjadi raja. Ia pun menjadi raja tetapi dengan bimbingan Si Suriyawongse, seorang bangsawan keturunan Persia. Selama masa bimbingan itu, Chulalongkorn pergi ke beberapa daerah kolonial Eropa di Asia seperti India, Indonesia, dan Singapura untuk mempelajari administrasi pemerintahan Barat. Ia sempat menjadi biksu lagi dan pada 1873 diangkat untuk kedua kalinya sebagai penanda sang raja muda telah menjadi dewasa.
Selama memerintah Chulalongkorn telah banyak melakukan perubahan dalam segala bidang dengan mengacu kepada peradaban Barat yang dianggap maju. Seperti terinspirasi oleh Revolusi Meiji di Jepang, Chulalongkorn mulai mendatangkan banyak ahli militer, permesinan, dan pemerintahan dari Eropa untuk mewujudkan supaya Siam seperti Eropa dan dihargai sebagai sebuah bangsa yang tidak primitif. Ini merupakan langkah lanjutan sang ayah yang telah mempersilakan para misionaris Barat untuk masuk ke Siam. Ia membentuk parlemen ala Barat, militer ala Barat, membentuk akademi militer, membentuk Kementerian Pertahanan, membuat jalur kereta api,  menyekolahkan anak-anak dan bangsawan ke negara-negara Eropa untuk menjadi orang yang siwilai (beradab), dan menilai kinerja para bangsawan bukan dari upeti atau budak tetapi dari kinerja dalam pemerintahan alias tidak berdasarkan phrai dan naai. Ia juga menghapus perbudakan. Bahkan, Chulalongkorn mempunyai penasihat berkebangsaan Belgia bernama Gustave Rolin-Jaequemyns.
Keadaan yang demikian membuat kolonialis Eropa segan menjajah Siam di samping negara ini mempunyai kekuatan diplomatis dan militer yang bagus. Inilah yang membuat Siam, yang pada 1939 berubah menjadi Thailand, terhindar dari penjajahan dan menjadi satu-satunya negara Asia Tenggara yang tidak pernah dijajah. Meskipun demikian langkah Chulalongkorn ini kurang disukai, terutama dari para bangsawan dan pangeran senior yang sudah lama berkuasa. Puncaknya, terjadi krisis pada 1874 ketika terjadi bentrokan antara pasukan pro-Chulangkorn dan yang kontra. Reformasi yang dijalankan oleh Chulalongkorn, terutama pada militer, pada akhirnya berimbas pada keseimbangan kekuatan antara militer dan kerajaan. Militer Thailand yang bergaya Eropa lama-kelamaan mempunyai kekuatan untuk bisa mendongkel dan mengudeta kekuasaan raja. Pada 1932, terjadilah kudeta militer yang sukses di Thailand, yang mengakibatkan monarki absolut diganti ke monarki konstitusional.
Dalam wilayah dan etnisitas, Chulalongkorn berupaya membuat semua orang yang berada di Siam sebagai orang Thai, tidak peduli ia mempunyai darah Thai atau tidak. Dengan alasan inilah ia kemudian menyebut orang Lao di timur laut sebagai Thai Timur Laut, orang Melayu atau muslim di Thailand Selatan sebagai Thai muslim. Ia juga memulai nasionalisme Thai yang berasakan “bangsa, agama, dan raja”. Nasionalisme ini akan terlihat jelas pada masa pemerintahan putranya, Vajiravudh, yang di masa pemerintahannya juga membangun universitas tertua di Thailand yang mengambil nama ayahnya.
Chulalongkorn meninggal pada 1910 dalam usia 57 tahun. Ia meninggalkan 77 anak. Berkat usahanya dalam pem-Barat-an Thailand, ia dianugerahi berbagai gelar dari Swedia dan Norwegia. Wajahnya pun diabadikan dalam baht, mata uang Thailand, pada 2003 dengan mengenakan seragam angkatan laut dan menghapus perbudakan.


Sumber: Sejarah Asia Tenggara dan Wikipedia

0 Response to "Chulalongkorn: Sang Siwilai Pengubah Thailand"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel