Kesultanan Mataram: Anti-Maritim, Isolasi, dan Feodalisme
Belakangan ini sering tersiar berita tentang tol laut, Poros Maritim, kembali ke laut, dan jangan memunggungi laut. Hal-hal tersebut berkaitan dengan usaha Indonesia yang hendak kembali menjadi negara maritim atau kelautan, memusatkan pembangunan berbasis kelautan demi kemakmuran rakyat di bawah Presiden Joko Widodo. Usaha yang disambut cukup antusias oleh mereka yang merindukan kejayaan maritim Indonesia. Usaha yang bisa dibilang juga untuk menyambung kembali tradisi kemaritiman Indonesia yang sudah berusia cukup lama semenjak zaman es.
Indonesia memang negara maritim. Sayangnya, itu hanya sekadar julukan yang tertera di kertas-kertas akademis. Kemaritiman Indonesia tidak berlaku kala laut yang menjadi intersuler dijadikan sebagai pengadang dan hiasan semata. Dibiarkan diambil sumber dayanya oleh pihak lain tanpa ada tindakan hukum yang jelas. Laut yang sebenarnya merupakan jiwa negara ini dipunggungi hingga ratusan tahun lamanya. Gagasan kembali ke laut merupakan gagasan yang cukup bagus meskipun dalam pelaksanaannya tentu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Berbicara tentang laut yang sudah menjadi jiwa bangsa-bangsa di Indonesia, dan mengalami kejayaan di masa Sriwijaya dan Majapahit, tradisi itu pelan-pelan meredup di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam. Inilah kesultanan pertama di Pulau Jawa yang lebih memfokuskan ekonomi negara pada bidang agraris dan melupakan maritim. Hal ini tentu berbeda dengan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan sebelum Mataram yang fokus pada dua bidang: agararis dan maritim.
Kesultanan ini awalnya hanya sebuah benteng kecil di Mataram yang didirikan oleh Ki Ageng Pamenahan pada 1588. Mataram, ketika didirikan oleh Ki Ageng Pamenahan, merupakan wilayah Pajang, kesultanan yang tersohor dengan sultannya, Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Perlahan Mataram mulai memberontak terhadap kekuasaan Pajang. Puncaknya terjadi ketika Sutawijaya, anak Ki Ageng Pamenahan berperang melawan Pajang. Ironisnya, Hadiwijaya, si penguasa Pajang, merupakan ayah angkat Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati. Usai mengalahkan Pajang, ia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tanah Jawa dan Mataram menggantikan kedudukan Pajang.
Pada 1610, Panembahan Senapati wafat dan digantikan Mas Jolang yang kemudian bergelar Panembahan Seda Krapyak. Gelar, yang ironisnya, didapatkan ketika ia meninggal saat sedang berburu. Ia kemudian digantikan oleh Aryo Martopuro. Sayangnya, karena sering sakit-sakitan ia lantas digantikan oleh Raden Mas Rangsang yang terkenal dengan nama Sultan Agung. Bagi kebanyakan orang Indonesia, nama Sultan Agung populer dengan penyerbuannya ke Jakarta (Batavia) yang dikuasai oleh VOC usai mengusir penguasa vasal Banten, Pangeran Jayakarta. Penyerbuan, yang berjumlah dua kali dalam rentang 1628-1629 itu, gagal total disebabkan kurang ampuhnya taktik darat yang dimiliki serta dihanguskannya perlengkapan logistik di Karawang oleh VOC. Di masa Sultan Agung ini Mataram mencapai kejayaannya dan berusaha menguasai semua Pulau Jawa.
Selepas mangkatnya Sultan Agung, Mataram dipimpin oleh raja-raja yang kurang cakap dalam berdiplomasi dan malah menjadi sekutu VOC. Akibatnya, melalui perjanjian Giyanti, Mataram pun terbagi dua: Solo dan Yogyakarta hingga kini
Agraris Penuh
Mataram merupakan kesultanan di Pulau Jawa yang lebih berfokus pada bidang agraris, bukan maritim seperti yang selama ini dilakoni oleh kerajaan dan kesultanan sebelumnya. Akibatnya, dalam bidang kemaritiman Mataram agak lemah. Kelemahan itu terlihat ketika hendak menyerang VOC dari laut. Kapal-kapal Mataram yang berukuran kecil tidak berdaya menghadapi galleon VOC. Penghapusan kemaritiman itu disertai dengan pemunculan legenda Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan, yang dikisahkan menjalin hubungan asmara dan merestui penguasa Mataram pertama, Panembahan Senapati. Legenda itu dimunculkan semata untuk melegitimasi kekuasaan sang Panembahan dan juga untuk melarang orang-orang Jawa melaut sehingga menganggap laut bukan lagi teman tetapi sebagai tempat marabahaya yang dipenuhi dengan aneka mistis. Pelarangan itu disertai dengan pembiaran beberapa perahu yang dibiarkan terbengkalai, penghapusan mengenai istilah-istilah dan ilmu kemaritiman, dan tidak adanya lagi angkatan laut. Boleh dibilang dari Mataramlah Jawa mengisolasi diri dari peradaban luar.
Selain mengisolasi diri dan hanya fokus kepada agraris, feodalisme pun muncul. Setiap keluarga kerajaan mempunyai penguasaan hak atas tanah yang didiami dengan memperkerjakan para penduduk di sekitar tanah itu. Feodalisme itu begitu mirip di Eropa. Feodalisme pun melahirkan para tuan tanah. Dalam bidang perdagangan sultan ikut memonopoli perdagangan tetapi tidak mau berdagang karena emoh dibilang sebagai pedagang yang dianggap rendah derajatnya. Dari feodalisme keningratan Jawa mulai muncul, baik dalam bahasa, perilaku, dan kebiasaan. Hal yang demikian menyebar hingga ke dataran Parahyangan, terutama ke Kesultanan Sumedang Larang yang menjadi bawahan Mataram. Begitu juga dengan Kesultanan Cirebon.
Hal-hal yang demikian menjadikan Mataram perlahan-lahan lemah ketika menghadapi kekuatan asing dan harus rela memecah kekuasaanya menjadi dua pada 1681. Pembagian yang kemudian juga menandai runtuhnya Mataram.
Meskipun sudah ratusan tahun, pengaruh Mataram masih tampak begitu kuat hingga sekarang. Selain melalui Solo dan Yogykarta yang ditahbiskan menjadi penerus Mataram, feodalisme, keningratan, persawahan pantura, serta hanacaraka dalam aksara Sunda menjadi contoh-contoh yang begitu nyata. Namun yang paling berpengaruh ialah politik agraris Mataram yang ternyata sejalan dengan politik kontinental Belanda yang kemudian menguasai Jawa selama 350 tahun, yang kemudian masih diteruskan oleh Soeharto dengan jawanisasinya sehingga laut benar-benar dilupakan dan dipunggungi. Indonesia pun lebih senang disebut sebagai negara agraris daripada maritim. Tentu merupakan pekerjaan yang tidak gampang bagi pemerintahan baru yang hendak kembali ke maritim.
Dari berbagai sumber
Indonesia memang negara maritim. Sayangnya, itu hanya sekadar julukan yang tertera di kertas-kertas akademis. Kemaritiman Indonesia tidak berlaku kala laut yang menjadi intersuler dijadikan sebagai pengadang dan hiasan semata. Dibiarkan diambil sumber dayanya oleh pihak lain tanpa ada tindakan hukum yang jelas. Laut yang sebenarnya merupakan jiwa negara ini dipunggungi hingga ratusan tahun lamanya. Gagasan kembali ke laut merupakan gagasan yang cukup bagus meskipun dalam pelaksanaannya tentu tidak akan semudah membalikkan telapak tangan.
Berbicara tentang laut yang sudah menjadi jiwa bangsa-bangsa di Indonesia, dan mengalami kejayaan di masa Sriwijaya dan Majapahit, tradisi itu pelan-pelan meredup di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam. Inilah kesultanan pertama di Pulau Jawa yang lebih memfokuskan ekonomi negara pada bidang agraris dan melupakan maritim. Hal ini tentu berbeda dengan kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan sebelum Mataram yang fokus pada dua bidang: agararis dan maritim.
wikipedia |
Kesultanan ini awalnya hanya sebuah benteng kecil di Mataram yang didirikan oleh Ki Ageng Pamenahan pada 1588. Mataram, ketika didirikan oleh Ki Ageng Pamenahan, merupakan wilayah Pajang, kesultanan yang tersohor dengan sultannya, Hadiwijaya atau Joko Tingkir. Perlahan Mataram mulai memberontak terhadap kekuasaan Pajang. Puncaknya terjadi ketika Sutawijaya, anak Ki Ageng Pamenahan berperang melawan Pajang. Ironisnya, Hadiwijaya, si penguasa Pajang, merupakan ayah angkat Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati. Usai mengalahkan Pajang, ia memproklamirkan dirinya sebagai penguasa tanah Jawa dan Mataram menggantikan kedudukan Pajang.
Pada 1610, Panembahan Senapati wafat dan digantikan Mas Jolang yang kemudian bergelar Panembahan Seda Krapyak. Gelar, yang ironisnya, didapatkan ketika ia meninggal saat sedang berburu. Ia kemudian digantikan oleh Aryo Martopuro. Sayangnya, karena sering sakit-sakitan ia lantas digantikan oleh Raden Mas Rangsang yang terkenal dengan nama Sultan Agung. Bagi kebanyakan orang Indonesia, nama Sultan Agung populer dengan penyerbuannya ke Jakarta (Batavia) yang dikuasai oleh VOC usai mengusir penguasa vasal Banten, Pangeran Jayakarta. Penyerbuan, yang berjumlah dua kali dalam rentang 1628-1629 itu, gagal total disebabkan kurang ampuhnya taktik darat yang dimiliki serta dihanguskannya perlengkapan logistik di Karawang oleh VOC. Di masa Sultan Agung ini Mataram mencapai kejayaannya dan berusaha menguasai semua Pulau Jawa.
wikipedia |
Selepas mangkatnya Sultan Agung, Mataram dipimpin oleh raja-raja yang kurang cakap dalam berdiplomasi dan malah menjadi sekutu VOC. Akibatnya, melalui perjanjian Giyanti, Mataram pun terbagi dua: Solo dan Yogyakarta hingga kini
Agraris Penuh
Mataram merupakan kesultanan di Pulau Jawa yang lebih berfokus pada bidang agraris, bukan maritim seperti yang selama ini dilakoni oleh kerajaan dan kesultanan sebelumnya. Akibatnya, dalam bidang kemaritiman Mataram agak lemah. Kelemahan itu terlihat ketika hendak menyerang VOC dari laut. Kapal-kapal Mataram yang berukuran kecil tidak berdaya menghadapi galleon VOC. Penghapusan kemaritiman itu disertai dengan pemunculan legenda Nyi Roro Kidul atau Ratu Pantai Selatan, yang dikisahkan menjalin hubungan asmara dan merestui penguasa Mataram pertama, Panembahan Senapati. Legenda itu dimunculkan semata untuk melegitimasi kekuasaan sang Panembahan dan juga untuk melarang orang-orang Jawa melaut sehingga menganggap laut bukan lagi teman tetapi sebagai tempat marabahaya yang dipenuhi dengan aneka mistis. Pelarangan itu disertai dengan pembiaran beberapa perahu yang dibiarkan terbengkalai, penghapusan mengenai istilah-istilah dan ilmu kemaritiman, dan tidak adanya lagi angkatan laut. Boleh dibilang dari Mataramlah Jawa mengisolasi diri dari peradaban luar.
Selain mengisolasi diri dan hanya fokus kepada agraris, feodalisme pun muncul. Setiap keluarga kerajaan mempunyai penguasaan hak atas tanah yang didiami dengan memperkerjakan para penduduk di sekitar tanah itu. Feodalisme itu begitu mirip di Eropa. Feodalisme pun melahirkan para tuan tanah. Dalam bidang perdagangan sultan ikut memonopoli perdagangan tetapi tidak mau berdagang karena emoh dibilang sebagai pedagang yang dianggap rendah derajatnya. Dari feodalisme keningratan Jawa mulai muncul, baik dalam bahasa, perilaku, dan kebiasaan. Hal yang demikian menyebar hingga ke dataran Parahyangan, terutama ke Kesultanan Sumedang Larang yang menjadi bawahan Mataram. Begitu juga dengan Kesultanan Cirebon.
Hal-hal yang demikian menjadikan Mataram perlahan-lahan lemah ketika menghadapi kekuatan asing dan harus rela memecah kekuasaanya menjadi dua pada 1681. Pembagian yang kemudian juga menandai runtuhnya Mataram.
Meskipun sudah ratusan tahun, pengaruh Mataram masih tampak begitu kuat hingga sekarang. Selain melalui Solo dan Yogykarta yang ditahbiskan menjadi penerus Mataram, feodalisme, keningratan, persawahan pantura, serta hanacaraka dalam aksara Sunda menjadi contoh-contoh yang begitu nyata. Namun yang paling berpengaruh ialah politik agraris Mataram yang ternyata sejalan dengan politik kontinental Belanda yang kemudian menguasai Jawa selama 350 tahun, yang kemudian masih diteruskan oleh Soeharto dengan jawanisasinya sehingga laut benar-benar dilupakan dan dipunggungi. Indonesia pun lebih senang disebut sebagai negara agraris daripada maritim. Tentu merupakan pekerjaan yang tidak gampang bagi pemerintahan baru yang hendak kembali ke maritim.
Dari berbagai sumber
Berbicara tentang laut yang sudah menjadi jiwa bangsa-bangsa di Indonesia, dan mengalami kejayaan di masa Sriwijaya dan Majapahit, tradisi itu pelan-pelan meredup di bawah kekuasaan Kesultanan Mataram Islam.
ReplyDeleteLukQQ
Situs Ceme Online
Agen DominoQQ Terbaik
Bandar Poker Indonesia