Aceh: Kisah Provinsi Islami di Indonesia yang "Terlupakan"
Apabila kita membuka Buku Pintar atau atlas Indonesia, pertama-mata kita akan disajikan atau memandang ke sebuah tempat yang menjadi provinsi dengan nomor urut satu di Indonesia. Sebuah provinsi yang terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan salah satu wilayahnya, Sabang disebut dalam sebuah lagu yang cukup populer di kalangan kebanyakan orang Indonesia. Aceh, nama provinsi yang dimaksud.
Berbicara tentang Aceh, bagi sebagian besar orang Indonesia, tentu akan berbicara mengenai salah satu provinsi di negara kepulauan tersebut yang memiliki hak-hak istimewa dan menjadi salah satu dari 5 provinsi di Indonesia yang mempunyai hak-hak tersebut. Hak-hak itu meliputi pemberlakuan syariat Islam, pemberlakuan qanun, mengatur pemerintahan sendiri melalui DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), mempunyai partai lokal yang bisa diikutsertakan dalam pemilu Indonesia, dan yang terakhir, dan agak kontroversial, memiliki dan mengibarkan bendera sendiri yang dikatakan mirip dengan bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Apa yang menjadi istimewa di Aceh senyatanya merupakan kompromi dari kondisi sosial dan sejarah masyarakat Aceh.
Aceh adalah provinsi di Indonesia yang bisa dibilang agak islami. Julukan serambi mekkah bukanlah julukan yang sembarangan untuk provinsi yang beribu kota di Banda Aceh itu. Julukan ini diberikan berdasarkan kondisi masyarakat Aceh yang hampir semuanya muslim dan berjumlah 98,5%. Kondisi yang menyebabkan Indonesia menjadi negara muslim terbesar. Tentunya kondisi ini juga dikarenakan sejarah Aceh yang oleh para sejarawan disebut sebagai tonggak penyebaran Islam di Indonesia melalui Kesultanan Samudera Pasai yang konon pernah dikunjungi oleh Ibnu Batutah dan Marco Polo. Selain itu Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara terutama ke wilayah lainnya di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya.
Lekatnya Aceh dengan Islam terlihat dari adat-istiadat masyarakat Aceh yang bisa dibilang islami dan menyesuaikan dengan syariat Islam yang memang cocok dan sesuai dengan psikologis masyarakatnya. Syariat Islam di Aceh bisa dibilang bukan merupakan hal baru meskipun baru diterapkan sejak 1999 melalui undang-undang yang membahas keistimewaan Aceh. Syariat Islam sudah mengakar dalam masyarakat Aceh sebelum wilayah ini masuk ke dalam Republik Indonesia. Syariat Islam telah menjadi identitas Aceh sebagai sebuah wilayah yang pernah mahsyur dalam sejarah melalui Kesultanan Aceh Darussalam yang dianggap sebagai kesultanan terbesar Aceh dan melampaui Samudera Pasai. Tentu saja, ketika semasa Orde Lama dan Orde Baru, identitas Aceh seolah-olah hendak dikikis dan dihilangkan dengan entitas politik pemerintah pusat yang dianggap bertentangan dengan hal tersebut. Akibatnya, timbullah keinginan memberontak masyarakat Aceh melalui DI/TII dan GAM. Pemerintah pusat dianggap melupakan janji-janji yang diberikan mengenai keistimewaan Aceh. Padahal, di awal-awal kemerdekaan, rakyat Aceh bergotong-royong secara kolektif untuk membeli pesawat yang kemudian dinamakan Seulawah. Dan pada masa Orde Baru pemberlakuan DOM (daerah operasi militer) pada 1989 hingga 1998 membuat rakyat Aceh semakin terluka dan ingin terus memerdekakan diri dari Indonesia. Peluncuran operasi militer oleh pemerintah pusat pada 2003 membuat Aceh menjadi wilayah konflik dan tidak aman. Namun, gempa bumi dan tsunami pada 2004 mengubah segalanya. Banyaknya korban jiwa mau tidak mau membuat dua pihak yang bertikai untuk berdamai demi membangun Aceh kembali melalui perjanjian damai pada 2005 dan sampai sekarang Aceh boleh dibilang damai dan dibiarkan menjalankan otonomi istimewanya berupa syariat Islam.
Aceh juga merupakan provinsi terlama yang harus susah payah ditaklukkan Belanda dalam sejarah Indonesia. Belanda yang ketika itu menyatakan perang kepada Aceh pada 1873 demi ambisi Pax-Nederlandica-nya baru bisa menaklukkan Aceh seluruhnya pada 1914. Pada perang yang melibatkan seluruh rakyat Aceh dari berbagai kalangan, Belanda harus mengakui keunggulan Aceh yang memang gigih mempertahankan kedaulatannya sebagai sebuah kesultanan besar di Sumatera dan mempunyai banyak relasi politik, terutama ke Kesultanan Ustmaniyah di Turki. Belanda bahkan harus kehilangan salah satu jenderalnya, Kohler yang tewas tertembak sniper di depan halaman Masjid Baiturrahman. Namun, lama-kelamaan, Belanda bisa membongkar dan mengalahkan Aceh melalui taktik ala Snouck Hugronje yang lihai menyamar menjadi seorang ulama Turki.
Selain sejarahnya, Aceh yang mempunyai 23 wilayah administratif ini juga mempunyai banyak keindahan alam. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan taman nasional yang berfungsi sebagai salah satu paru-paru dunia. Danau Laut Tawar, Pantai Lhok Ngha, Pulau Sabang merupakan keindahan-keindahan alam lainnya yang ditawarkan Aceh. Selain itu, Aceh mempunyai sumber daya alam berupa gas alam dan minyak bumi serta hasil-hasil hutan. Atas kontribusinya yang besar dalam sejarah Indonesia, beberapa pahlawan lokal Aceh pun diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia. Bahkan salah satu ormas nasional menamakan dirinya dengan nama Laksamana Keumalahayati. Sayangnya, hingga saat ini belum ada kontribusi balik dari pemerintah pusat kepada provinsi yang juga mempunyai julukan "tanah rencong" itu yang bisa dikatakan cukup mensejahterakan dan menenteramkan rakyat Aceh. Wajar, jika masih muncul banyak resistensi kecil di sebagian kecil masyarakat Aceh.
dakwatuna.com |
Berbicara tentang Aceh, bagi sebagian besar orang Indonesia, tentu akan berbicara mengenai salah satu provinsi di negara kepulauan tersebut yang memiliki hak-hak istimewa dan menjadi salah satu dari 5 provinsi di Indonesia yang mempunyai hak-hak tersebut. Hak-hak itu meliputi pemberlakuan syariat Islam, pemberlakuan qanun, mengatur pemerintahan sendiri melalui DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh), mempunyai partai lokal yang bisa diikutsertakan dalam pemilu Indonesia, dan yang terakhir, dan agak kontroversial, memiliki dan mengibarkan bendera sendiri yang dikatakan mirip dengan bendera GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Apa yang menjadi istimewa di Aceh senyatanya merupakan kompromi dari kondisi sosial dan sejarah masyarakat Aceh.
Aceh adalah provinsi di Indonesia yang bisa dibilang agak islami. Julukan serambi mekkah bukanlah julukan yang sembarangan untuk provinsi yang beribu kota di Banda Aceh itu. Julukan ini diberikan berdasarkan kondisi masyarakat Aceh yang hampir semuanya muslim dan berjumlah 98,5%. Kondisi yang menyebabkan Indonesia menjadi negara muslim terbesar. Tentunya kondisi ini juga dikarenakan sejarah Aceh yang oleh para sejarawan disebut sebagai tonggak penyebaran Islam di Indonesia melalui Kesultanan Samudera Pasai yang konon pernah dikunjungi oleh Ibnu Batutah dan Marco Polo. Selain itu Aceh merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang mempunyai peranan penting dalam penyebaran Islam di Asia Tenggara terutama ke wilayah lainnya di Pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya.
commons.wikimedia.org |
Lekatnya Aceh dengan Islam terlihat dari adat-istiadat masyarakat Aceh yang bisa dibilang islami dan menyesuaikan dengan syariat Islam yang memang cocok dan sesuai dengan psikologis masyarakatnya. Syariat Islam di Aceh bisa dibilang bukan merupakan hal baru meskipun baru diterapkan sejak 1999 melalui undang-undang yang membahas keistimewaan Aceh. Syariat Islam sudah mengakar dalam masyarakat Aceh sebelum wilayah ini masuk ke dalam Republik Indonesia. Syariat Islam telah menjadi identitas Aceh sebagai sebuah wilayah yang pernah mahsyur dalam sejarah melalui Kesultanan Aceh Darussalam yang dianggap sebagai kesultanan terbesar Aceh dan melampaui Samudera Pasai. Tentu saja, ketika semasa Orde Lama dan Orde Baru, identitas Aceh seolah-olah hendak dikikis dan dihilangkan dengan entitas politik pemerintah pusat yang dianggap bertentangan dengan hal tersebut. Akibatnya, timbullah keinginan memberontak masyarakat Aceh melalui DI/TII dan GAM. Pemerintah pusat dianggap melupakan janji-janji yang diberikan mengenai keistimewaan Aceh. Padahal, di awal-awal kemerdekaan, rakyat Aceh bergotong-royong secara kolektif untuk membeli pesawat yang kemudian dinamakan Seulawah. Dan pada masa Orde Baru pemberlakuan DOM (daerah operasi militer) pada 1989 hingga 1998 membuat rakyat Aceh semakin terluka dan ingin terus memerdekakan diri dari Indonesia. Peluncuran operasi militer oleh pemerintah pusat pada 2003 membuat Aceh menjadi wilayah konflik dan tidak aman. Namun, gempa bumi dan tsunami pada 2004 mengubah segalanya. Banyaknya korban jiwa mau tidak mau membuat dua pihak yang bertikai untuk berdamai demi membangun Aceh kembali melalui perjanjian damai pada 2005 dan sampai sekarang Aceh boleh dibilang damai dan dibiarkan menjalankan otonomi istimewanya berupa syariat Islam.
Aceh juga merupakan provinsi terlama yang harus susah payah ditaklukkan Belanda dalam sejarah Indonesia. Belanda yang ketika itu menyatakan perang kepada Aceh pada 1873 demi ambisi Pax-Nederlandica-nya baru bisa menaklukkan Aceh seluruhnya pada 1914. Pada perang yang melibatkan seluruh rakyat Aceh dari berbagai kalangan, Belanda harus mengakui keunggulan Aceh yang memang gigih mempertahankan kedaulatannya sebagai sebuah kesultanan besar di Sumatera dan mempunyai banyak relasi politik, terutama ke Kesultanan Ustmaniyah di Turki. Belanda bahkan harus kehilangan salah satu jenderalnya, Kohler yang tewas tertembak sniper di depan halaman Masjid Baiturrahman. Namun, lama-kelamaan, Belanda bisa membongkar dan mengalahkan Aceh melalui taktik ala Snouck Hugronje yang lihai menyamar menjadi seorang ulama Turki.
gayolut.wordpress.com |
Selain sejarahnya, Aceh yang mempunyai 23 wilayah administratif ini juga mempunyai banyak keindahan alam. Taman Nasional Gunung Leuser merupakan taman nasional yang berfungsi sebagai salah satu paru-paru dunia. Danau Laut Tawar, Pantai Lhok Ngha, Pulau Sabang merupakan keindahan-keindahan alam lainnya yang ditawarkan Aceh. Selain itu, Aceh mempunyai sumber daya alam berupa gas alam dan minyak bumi serta hasil-hasil hutan. Atas kontribusinya yang besar dalam sejarah Indonesia, beberapa pahlawan lokal Aceh pun diangkat menjadi pahlawan nasional Indonesia. Bahkan salah satu ormas nasional menamakan dirinya dengan nama Laksamana Keumalahayati. Sayangnya, hingga saat ini belum ada kontribusi balik dari pemerintah pusat kepada provinsi yang juga mempunyai julukan "tanah rencong" itu yang bisa dikatakan cukup mensejahterakan dan menenteramkan rakyat Aceh. Wajar, jika masih muncul banyak resistensi kecil di sebagian kecil masyarakat Aceh.
0 Response to "Aceh: Kisah Provinsi Islami di Indonesia yang "Terlupakan""
Post a Comment