10 Tahun Tsunami 2004: Sebuah Kenangan Getir akan Bencana Terbesar di Asia Tenggara
Hari ini, 10
tahun silam, tepatnya 26 Desember 2004, seluruh dunia terhenyak ketika
mendengar kabar terjadi tsunami di Asia, tepatnya di Asia Tenggara. Tsunami
yang terjadi karena pergeseran lempeng Burma dan Hindia itu menyebabkan terjadinya gempa tektonik
9.1-9.3 pada skala richter disusul tak lama kemudian gelombang pasang setinggi
pohon kelapa atau 9 meter. Tak pelak, kejadian ganda itu menyebabkan ribuan
orang tewas di saat mereka tidak menyangka ketika minggu pagi yang cerah
mendadak berubah menjadi minggu pagi yang kelam. Mayat-mayat bergelimpangan.
Menyatu dengan gunungan sampah. Rumah-rumah, kecuali tempat ibadah, hancur
porak-poranda. Bau-bau amis dan anyir menyatu disertai dengan tangisan dan
ratapan. Kejadian ini seperti mengingatkan perang, terutama Perang Dunia Kedua
ketika Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada 1945. Para
ahli menyatakan Tsunami 2004 berkekuatan dua kali lipat dari kekuatan bom atom
itu.
Beberapa negara
terdampak tsunami tersebut: Indonesia, Thailand, India, Sri Lanka, Somalia, dan
Maladewa
. Namun yang paling menderita tentu saja di Indonesia, tepatnya di
Aceh, provinsi paling ujung negeri ini. Di sinilah 126.741 nyawa melayang
ketika mereka sedang menikmati minggu pagi yang cerah, bersantai dengan
keluarga, bermain di pantai, dan berolahraga. Ketika bencana itu datang, yang
mereka duga hanyalah gempa besar yang membuat terkejut dan tiarap. Dalam
keterkejutan itu tiba-tiba air merayap ke daratan dengan cepat. Menerpa.
Menghanyutkan. Dan tewas. Hanya mereka yang diperkenankan oleh-Nya masih bisa
menghirup nafas hari ini dan menceritakan pengalaman itu walau terasa getir dan
pahit.
kompas.com |
Tsunami dalam
sekejap meluluhlantakan Aceh dan seisinya. Pantai-pantai barat Aceh seperti di
Lhok Nga yang ramai dan hijau seketika berubah menjadi kosong dan senyap
seperti tiada harapan. Rumah-rumah hancur tak bersisa. Banda Aceh, ibu kota
provinsi mengalami hal yang sama. Beruntung Masjid Baiturrachman masih menjadi
pelindung yang diharapkan. Aceh pun berduka. Duka itu pun dirasakan oleh
Indonesia. Tsunami menjadi berita utama di mana-mana. Media massa, baik cetak
maupun elektronik tak ketinggalan menyiarkan. Bukan demi rating tetapi kemanusiaan.
Bantuan pun berdatangan. Baik nasional dan internasional. Pasukan-pasukan asing
datang dengan misi kemanusiaan meskipun mereka di awal sudah diperingatkan akan
kondisi Aceh yang masih dalam gencatan senjata antara Pemerintah Indonesia-GAM.
Tapi itu tak mengubah keinginan untuk menjalin rasa kemanusiaan sebab Tsunami
2004 merupakan bencana paling dahsyat di muka bumi pada abad ke-21. Lebih
dahsyat daripada letusan Gunung Krakatau 1883 dan Tambora 1815. Dan juga Perang
Dunia Kedua.
Organisasi-organisasi
internasional seperti PBB pun tak luput memberikan bantuan dan mengumumkan
dunia internasional untuk berduka. Di Tanah Air, Presiden SBY yang baru
beberapa bulan menjabat segera menyatakan Tsunami 2004 sebagai bencana nasional
dan menyatakan hari berkabung nasional selama 3 hari. Tsunami pun menjadi
peringatan bagi orang-orang Indonesia, terutama muslim, yang malah saling
membunuh sesama di Aceh terkait dengan konflik Aceh dan kelalaian menjalankan
ajaran Islam. Namun Tsunami juga menjadi pelajaran bagi mereka yang tinggal di
pinggiran pantai agar waspada dan selalu menyediakan ruang hijau untuk
tumbuh-kembang tembakau. Tsunami juga menjadi pelajaran bagi pemerintah daerah
untuk menata kembali tata ruang lingkungan. Tsunami juga menjadi pelajaran
supaya orang Indonesia melek bencana dengan diajari manajemen bencana yang
tepat agar tak terjadi banyak korban jiwa seperti di Jepang.
Kini 10 tahun
berlalu sudah. Aceh pun hidup dan bergeliat kembali. Tiada tangis atau haru.
Yang ada tawa dan bahagia. Tsunami Aceh juga telah membawa Aceh pada kedamaian.
Setelah bencana itu Aceh bersatu. GAM bersedia berdamai dengan pemerintah.
Semua demi membangun Aceh. Monumen-monumen peringatan, seperti Museum Tsunami
dibangun. Kapal Apung-1 yang terdampar demikian. Aceh bersolek kembali. Persis
zaman Sultan Iskandar Muda. Namun Tsunami 2004, bencana terbesar di Asia
Tenggara kontemporer akan tetap diingat bagi mereka yang mengalami sebagai
sesuatu yang menyedihkan sekaligus memberikan pelajaran.
0 Response to "10 Tahun Tsunami 2004: Sebuah Kenangan Getir akan Bencana Terbesar di Asia Tenggara"
Post a Comment