-->

Asia Tenggara Pada Masa Perang Dingin: Di Antara Perebutan Hegemoni Blok Barat dan Blok Timur

Terpecah-belah. Berpihak pada salah satu dari dua blok, Barat dan Timur. Keberpihakan yang berpengaruh terhadap situasi di dalam negeri masing-masing. Itulah gambaran kawasan Asia Tenggara pada masa Perang Dingin.
Berakhirnya Perang Dunia Kedua yang lantas disusul dengan maraknya dekolonisasi negara-negara di Asia Tenggara membuat negara-negara itu mulai memikirkan masa depan untuk membangun sesuai dengan yang dimpi-impikan ketika masih dalam cengkraman imprealisme Barat. Demokrasi ala Barat merupakan jalur politik yang sepertinya disepakati oleh semua negara-negara di kawasan ini meskipun pada kenyataannya terdapat pertentangan di dalam dan penyimpangan yang dilakukan.
Dipilihnya Demokrasi ala Barat sebagai azas pembangunan merupakan suatu hal yang mulia dan pasti dan sesuai dengan pemikiran para nasionalis Asia Tenggara berlatar pendidikan Barat. Demokrasi ala Barat dipandang sebagai jalan cepat menuju kemajuan bangsa, terutama bangsa yang porak-poranda pasca-kolonial. Akan tetapi, dalam prakteknya, pemberlakuan ini tidaklah semulus yang diharapkan mengingat masih banyaknya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh para kaum nasionalis. Permasalahan etnis yang berujung separatisme, hadangan dari militer yang berujung kudeta, dan yang menolak demokrasi karena lebih menyukai sistem sosialis alih-alih komunis.
teara.govt.nz

Asia Tenggara pada masa Perang Dingin memang tidak lepas dari pengaruh dua blok, Barat dan Timur yang masing-masing digawangi Amerika Serikat dan Uni Soviet. Keinginan beberapa negara merdeka di kawasan ini untuk memilih demokrasi ala Barat yang disodorkan AS sebagai pemimpin Blok Barat lebih sebagai upaya untuk membendung komunisme Blok Timur yang tengah menggejala di Asia Tenggara. Kedua blok memang berkepentingan terhadap kawasan ini yang dinilai strategis dan mempunyai banyak sumber daya.
Pembentukan South East Asian Treaty Organization (SEATO) pada 8 September 1954 di Bangkok, Thailand menjadi penanda dimulainya usaha untuk menegakkan hegemoni satu blok dan memarjinalkan blok lainnya supaya keluar dari Asia Tenggara. Organisasi yang diketuai AS ini di dalamnya terdapat empat negara Asia Tenggara yang memang sekutu dekat Paman Sam, yaitu Thailand, Filipina, Vietnam Selatan, dan Laos. Kedua negara pertama, Thailand dan Filipina merupakan sekutu aktif AS pasca-Perang Dunia Kedua. Keduanya mengirimkan para personel militer mereka untuk terlibat dalam perang saudara di Korea.
Di lain pihak keikutsertaan Vietnam Selatan dan Laos dalam SEATO semata-mata untuk menguatkan kedudukan mereka sebagai sekutu penting AS di Indocina. Kedua negara tengah sama-sama mengalami gesekan berupa gerakan perlawanan dari gerilyawan komunis. Untuk kasus Vietnam Selatan, AS menganggapnya sebagai kasus istimewa mengingat negara ini harus dilindungi dari serbuan tetangganya, Vietnam Utara yang tengah menyatukan kembali Vietnam dalam satu azas, sosialis-komunis. Keinginan Vietnam Utara itu didukung oleh sekutu besar komunis mereka, Uni Soviet dan Cina yang memang berkepentingan terhadap wilayah Asia Tenggara. Keinginan itu jelas akan menyebabkan seluruh Vietnam menjadi komunis dan tercipta efek domino sehingga membuat AS gusar selain harus memerangi Vietnam Utara dalam perang panjang selama 10 tahun (1965-1975) yang berakhir dengan kekalahan AS. Perang yang tadinya hanya di Vietnam merambat ke wilayah Indocina lainnya seperti Kamboja dan Laos. Di Laos gerilyawan komunis Pathet Laos berupaya mendongkel kekuasaan Raja Savang Vatthana. Gerakan itu berhasil pada 1975 ketika Laos yang tadinya kerajaan berubah menjadi republik sosialis. Ketika terjadi gerakan dari gerilyawan ini, AS berupaya memberikan bantuan senjata kepada sekutunya ini, terutama ke etnis Hmong. Ketika Republik Sosialis Laos didirikan, orang-orang etnis terus bergerilya dan melawan. Di Kamboja gerakan komunis Khmer Merah pimpinan Saloth Sar atau Pol Pot berhasil menggulingkan kekuasaan Jenderal Lon Nol yang pro-AS pada 1975. Sebelumya, pada 1970, Lon Nol malah berhasil menggulingkan kekuasaan Raja Norodom Sihanouk sekaligus mengakhiri kemonarkian Kamboja untuk sementara waktu.
Di masa Pol Pot Kamboja yang berubah menjadi komunis menceritakan banyak cerita duka dan teror ketika setiap harinya diberitakan pembantaian yang dilakukan tentara Khmer Merah terhadap para penduduk sipil. Ladang pembantaian pun tersebar di mana-mana. Rezim Pol Pot hanya berumur selama 5 tahun ketika Vietnam yang didukung oleh Uni Soviet dan pengkhianat Khmer Merah, Heng Samrin mengivasi Kamboja pada akhir 1978 dan awal 1979. Seketika Pol Pot dan Khmer Merah-nya melarikan diri ke hutan dan bergerilya hingga Pol Pot meninggal pada 1998. Invasi Vietnam ini merupakan buntut perpecahan dua kekuatan utama komunis, Uni Soviet dan Cina. Vietnam menguasai Kamboja hingga akhir 1980-an dan PBB pun mengambil alih pemerintahan sementara sekaligus menyerahkan kepada Sihanouk. Kamboja berubah menjadi kerajaan kembali hingga hari ini.
Negara-negara Indocina yang terlihat tenang pada masa gejolak-gejolak di negara-negara tetangganya adalah Thailand dan Myanmar. Pada masa Perang Dingin kedua negara disibukkan oleh masalah internal dan kudeta militer. Di Thailand semenjak kudeta 1932 kudeta kemudian terjadi lagi pada 1947 yang dipimpin oleh Jenderal Sarit Thanarit yang berkuasa hingga 1963. Pada 1973-1976 terjadi keadaan demokratis dan perlawanan yang dilakukan mahasiswa-mahasiswa, terutama yang beraliran kiri yang oleh pihak militer dianggap berbahaya dan lantas diberangus pada 1976 melalui pembantaian mahasiswa di Universitas Thammasat. Meskipun sering mengalami kudeta militer, Thailand tidak lantas kehilangan pamor sebagai sekutu dekat AS karena bersedia membantu “negara Paman Sam” itu dalam kampanye melawan Vietnam Utara yang komunis dengan menyediakan pangkalan militer. Komunis sendiri dianggap berbahaya oleh militer Thailand yang kebetulan menjadi satu pandangan dengan AS. Ekonomi Thailand juga mengalami kemajuan karena bantuan yang diberikan AS sehingga Thailand tetap dianggap stabil meskipun kudeta selalu mengiringi dalam sejarah “negeri gajah putih”.
Sedangkan di Myanmar, pemerintahan militer mulai mengambil alih melalui kudeta yang dilakukan Jenderal Ne Win pada 1958 dari Perdana Menteri U Nu. Pemerintahan militer ini sebenarnya berkuasa hingga 1960. Namun pada 1962 mereka melakukan kudeta kembali dan membentuk pemerintahan junta militer permanen hingga 2011. Pada masa-masa ini sering terjadi aksi protes para mahasiswa dan para biksu melawan kesewenangan junta. Perlawanan itu lantas dibalas dengan pembantaian membabi-buta di jalanan. Junta militer juga membatalkan pemilihan sipil langsung pada 1991 yang memenangkan Aung San Suu Kyi. Wanita yang disebut identik dengan ikon demokrasi Myanmar pun dikenai tahanan rumah hingga 2011. Pada masa-masa ini Myanmar menutup diri sehingga ekonomi mereka stagnan dan jeblok.
Di kawasan Asia Tenggara lainnya, Indonesia dalam masa Perang Dingin sebenarnya bersikap netral melalui politik bebas-aktif. Namun desakan situasi membuat Indonesia yang dianggap berupaya merangkul semua pihak dalam GNB dan KAA beralih ke salah satu blok, yaitu Blok Timur. Semua diawali dengan kekesalan Sukarno terhadap AS yang diam-diam membantu PRRI dan menghambat pembelian senjata untuk membebaskan Irian Barat dari Belanda. Ketika Indonesia berpaling kepada Blok Timur, beberapa pihak menjadi waspada karena Indonesia lama-kelamaan akan menjadi komunis. Uni Soviet dan beberapa negara Blok Timur begitu royal memberikan persenjatannya untuk membantu Indonesia dalam kampanye Irian Barat. Di dalam negeri, PKI begitu bergairah dan membantu sepenuhya pembebasan Irian Barat. Namun di sisi lain, militer yang dikomandoi Jenderal Nasution tidak begitu menyukai keadaan ini. Begitu kampanye militer terhadap Irian Barat selesai melalui perjanjian damai Indonesia-Belanda di New York, pertentangan antara militer dan PKI semakin meruncing. Pertentangan itu juga meruncing ke kaum agamis yang juga musuh PKI. Puncaknya pada 1965, ketika terjadi pembantaian para perwira militer oleh para perwira militer progresif yang didukung PKI. Kejadian itu kemudian berkembang mengarah ke pembunuhan massal dan balas dendam kepada anggota-anggota PKI oleh militer dan agamis. Dari sinilah kemudian muncul sosok bernama Soeharto dari militer yang kemudian memimpin Indonesia selama 32 tahun. Rezim militer dimulai di masanya. Rezim ini tidak memberikan kebebasan pers dan berpendapat dan mengutamakan keseragaman. Dan di rezim inilah Indonesia yang pro-Blok Timur perlahan menjadi Blok Barat. Di masa Soehartolah, Indonesia menginvasi Timor-Timur pada 1975. Invasi itu dilakukan dengan persetujuan diam-diam dari negara-negara Barat supaya Timor Timur tidak menjadi komunis karena Fretilin di dalamnya. Timor Timur pun kemudian dijadikan provinsi ke-27 sampai 1999 ketika provinsi itu memutuskan merdeka dan berubah nama menjadi Timor Leste. Indonesia mengalami kemajuan ekonomi pada masa-masa ini. Salah satu contohnya ialah swasembada beras pada 1984. Namun Indonesia tetap berada di dalam kediktatoran hingga 1998.
Kediktatoran juga terjadi di Filipina. Ferdinand Marcos akan selalu menjadi sosok yang dikaitkan jika berbicara mengenai kediktatoran di “negeri pinoy” itu. Marcos yang memerintah Filipina dari 1965 hingga 1968 sesungguhnya adalah seorang pengacara andal yang diharapkan bisa membawa Filipina keluar dari krisis ekonomi setelah pendahulunya, Diosdado Macapagal, dianggap gagal dan membawa kebangkrutan untuk Filipina. Namun Marcos selama memerintah bertindak sewenang-wenang terhadap rakyatnya walaupun pada masanya Filipina mengalami lonjakan ekonomi yang cukup bagus dengan didukung AS sebagai sekutu dekat. Namun lonjakan ekonomi itu hanya berpihak pada satu sisi dan tidak menyentuh rakyat kecil. Pemerintahan ala Marcos menciptakan kroni-kroni ekonomi yang korup yang pada akhirnya membuat negara bangkrut dan membuat pemerintah merampok sendiri uang yang disimpan sehingga cadangan negara habis dan neraca perdagangan tidak stabil. Hal ini yang membuat rakyat Filipina banyak memutuskan bekerja di luar negeri. Keadaan yang demikian juga diperparah dengan penampilan sang ibu negara, Imelda Marcos, yang gemar berbelanja sangat mahal di tengah penderitaan rakyatnya. Pada akhirnya, 1986, pemerintahan Marcos pun lengser oleh gerakan rakyat dan ia pun digantikan oleh Corazon Aquino.
Keinginan untuk tidak jauh-jauh dari bekas penjajah dan sukarela adalah yang dilakukan oleh Malaysia, terutama oleh kaum feodalnya yang belakangan membentuk UMNO dan menolak pembentukan konsep politik Indonesia Raya oleh kaum revolusioner Semenanjung Melayu. Kedekatan Malaysia dengan bekas penjajahnya, Inggris inilah yang kemudian menyulut konfrontasi politik dan militer dengan Indonesia ketika Federasi Malaysia berupaya menggabungkan Kalimantan Utara di dalam satu Malaysia. Konfrontasi yang berlangsung pada 1963 hingga 1966 ini membuat hubungan kedua negara serumpun menjadi panas. Aksi penginjakan burung garuda di Kuala Lumpur dibalas dengan seruan Ganyang Malaysia oleh Sukarno. Kedua pihak bertempur, baik di darat, udara, dan lautan. Sukarno menganggap Malaysia merupakan proyek neo-kolonialisme Inggris yang harus dilawan dan menginginkan supaya Kalimantan Utara berdaulat penuh atas nasibnya sendiri atau bergabung ke dalam Malaysia. Konfrontasi yang juga digawangi dari belakang oleh Blok Barat dan Timur ini pun membuat Indonesia menarik diri dari keanggotaan PBB pada Januari 1965 ketika PBB menerima Malaysia sebagai anggota tidak tetap. Pada saat itu Malaysia sudah menguasai Kalimantan Utara tanpa melalui referendum yang diinginkan Sukarno dan juga Filipina. Dalam konfrontasi, meski tidak berperang Filipina memutuskan hubungan diplomatik dengan Malaysia. Filipina juga beranggapan Malaysia telah melanggar janji dalam kesepakatan Maphilindo. Dalam kesepakatan itu Filipina menuntut Sabah yang secara historis merupakan bagian Kesultanan Sulu.
Konfrontasi itu kemudian berakhir pada 1966 dengan Indonesia di bawah Soeharto memutuskan melakukan perjanjian damai dan normalisasi hubungan dengan Malaysia pada 1967. Pada tahun yang sama untuk mengeratkan hubungan kedua negara dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dibentuklah ASEAN sebagai wadah ekonomi, sosial, politik, dan budaya negara-negara itu. Anggota-anggota pertama ialah Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Singapura.
Lepas masalah konfrontasi dengan Indonesia, Malaysia dihadapkan pada situasi internal yang sulit, kerusuhan Mei 1969 yang melibatkan antar-etnis. Kerusuhan itu pulalah yang membuat Perdana Menteri Mahattir Mohammad merumuskan kebijakan Melayu di atas segalanya. Ia beranggapan kerusuhan diakibatkan ketidakadilan yang dialami orang Melayu sebagai orang bumiputera. Melayu diperkenankan menguasai sektor-sektor dan aset-aset penting dalam perekonomian Malaysia. Hal ini lantas membuat etnis Cina dan India menjadi kelas dua. Di bawah Mahattir Malaysia menjadi negara yang sungguh maju dengan mengutamakan sektor kelapa sawit, karet, dan minyak sebagai pendapatan utama. Petronas dan Proton menjadi saksi kemajuan Malaysia hingga saat ini.
Pada masa Perang Dingin telah lahir dua negara baru yang berdaulat, yaitu Singapura dan Brunei Darussalam. Kelahiran Singapura sesungguhnya tidak lepas dari gejala politik yang terjadi di Malaysia. Kaum Cina yang mayoritas menguasai Singapura pesimistis jika Malaysia yang dikuasai Melayu akan membawa keuntungan pada mereka. Karena itu, pada 1965, melalui Lee Kuan-Yew Singapura melepaskan diri dan memproklamasikan kemerdekaannya. Akan tetapi lepasnya Singapura tidaklah diimbangi oleh kekuatan keamanan dan sumber daya. Hal ini yang membuat Lee Kuan-Yew berpikir ekstra hingga meminta bantuan Israel untuk mendesain keamanan Singapura. Oleh Lee Singapura kemudian diubah menjadi semacam entrepot yang dampaknya berpengaruh cukup besar terhadap perekonomian Singapura sampai hari ini. Singapura pun menjadi negara maju dan dijuluki oase di antara negara-negara dunia ketiga.
Sedangkan untuk Brunei Darussalam, ia merdeka pada 1984 dari Inggris. Ketika merdeka pun Brunei sudah tidak perlu berpusing diri karena telah memiliki sumber daya alam melimpah berupa minyak sehingga menjadi negara terkaya di Asia Tenggara setelah Singapura. Brunei pada awalnya merupakan negara yang diajak serta dalam Federasi Malaysia di Kalimantan. Diajaknya Brunei itu sempat ditentang kaum revolusioner yang dipimpin A.M.Azahari melalui Pemberontakan Rakyat Brunei melalui sayap militer TNKU. Namun dari sisi Kesultanan Brunei sendiri tampaknya tidak yakin dengan ajakan Malaysia sehingga mereka memutuskan tidak jadi bergabung.



2 Responses to "Asia Tenggara Pada Masa Perang Dingin: Di Antara Perebutan Hegemoni Blok Barat dan Blok Timur"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel