Sureq Galigo: Epos Terbesar di Asia Tenggara dan Dunia
Sebuah bangsa yang besar tentu saja mempunyai cerita dahsyat bernama epos. Epos yang kebanyakan bersifat dogmatis dan mitologis itu secara tidak disadari telah mencerminkan banyak tata cara atau perilaku suatu bangsa yang membentuk sebuah peradaban besar. Epos pun menjadi pegangan hidup sebab ia berisi petunjuk-petunjuk, norma-norma, dan bagaimana manusia berhubungan dengan penciptanya. Di dunia telah banyak epos yang begitu tersohor sebut saja Ramayana dan Mahabharata dari India, Illiad dan Oddysey dari Yunani, Beowulf dari Inggris, Lusiads dari Portugal, dan Gilgamesh dari Mesopotamia (Irak). Epos biasanya berbentuk puisi naratif dan dilagukan. Ia diceritakan dan diperdengarkan ketika sedang diadakan ritual-ritual tertentu yang berhubungan dengan adat-istiadat bangsa tersebut. Epos juga menceritakan kepahlawanan seseorang dan dianggap legendaris serta mempunyai kekuatan magis.
Sebagai sebuah bangsa maritim, Indonesia juga mempunyai epos. Epos ini berasal dari Sulawesi Selatan dan bernama Sureq Galigo. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, mungkin tidak mengetahui epos yang satu ini tetapi tidak bagi mereka yang berada di Sulawesi Selatan atau mereka yang berdarah Bugis. Sureq Galigo atau La Galigo merupakan epos asli Indonesia yang menceritakan tentang proses penciptaan bumi dan penurunan manusia pertama ke bumi oleh sang pencipta yang disebut dengan Sang Patoqoqe. Epos ini merupakan epos yang panjang narasinya 300.000 baris teks dengan 9.000 halaman portofolio. Ini yang menyebabkan Sureq Galigo menjadi sebuah karya terbesar di dunia serta mengalahkan Ramayana dan Mahabharata yang hanya berjumlah 160.000-200.000 teks.
Keberadaan Sureq Galigo menjadi sebuah epos terbesar tentu mengundang perhatian besar. Menurut Dul Abdul Rahman yang menulis ulang La Galigo yang diterbitkan Diva Press, Sureq Galigo selalu menjadi objek penelitian akademisi ilmu sastra dari Belanda. Di negeri inilah, tepatnya di Universitas Leiden, Sureg Galigo tersimpan rapi dalam salinan sebanyak 12 jilid. Salah satu peneliti itu ialah R.A. Kern yang menulis dalam bukunya, Catalogus van de Boegineesche tot de I la Galigocylus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan pada 1939. Dialah tokoh, yang setelah melakukan penelitian terhadap Sureq Galigo, menyatakan bahwa epos ini setara dengan epos-epos besar legendaris lainnya di dunia. Kemudian oleh Koolhof ditambahkan bahwa Sureq Galigo melebihi epos-epos besar lainnya dalam baris teks dan penceritaan.
Awalnya, Sureq Galigo merupakan cerita yang sudah berkembang dan mengakar di kalangan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Kemudian cerita itu ditulis dan dibukukan kembali oleh Collig Pujie Arung Pancana pada abad ke-19 atas permintaan seorang misionaris Belanda bernama B.F.Mathes. Sureq Galigo dipercaya dibuat pada abad ke-13 dan 15. Ini merupakan sebuah masa masyarakat Bugis belum memeluk Islam sama sekali yang sekarang menjadi agama dominan di masyarakat Bugis dann Sulawesi Selatan. Jadi, bisa dikatakan bahwa Sureq Galigo merupakan pencerminan masyarakat Bugis pra-Islam yang menganut Tolotang. Di dalam cerita terdapat konsep-konsep yang mengarah ke arah tersebut. Seperti sang pencipta yang disebut sebagai Sang Patoqoqe yang mempunyai kekuasaan di Langit, Bumi, dan Peretiwi atau dunia bawah. Dalam Sureq Galigo, Sang Patoqoqe mempunyai istri bernama Datu Palingeq. Ia tinggal di dunia atas bernama Boting Langig dalam istananya, Sao Kutta Parepaqe. Di Boting Langiq juga tinggal dewa-dewa yang membantu Sang Patoqoqe mengatur kehidupan. Awal cerita dimulai ketika Sang Patoqoge ingin menurunkan anaknya, Batara Guru ke bumi yang masih kosong agar hidup dan beranak pinak serta membentuk kekuasaan. Kemudian dari Batara Guru yang menikah dengan We Nyeleq Timoq dari Peretiwi lahirlah Batara Lattuq yang kemudian menurunkan keturunan bernama Sawerigading yang dalam cerita mahsyur sebagai pelaut ulung dan petarung andal di lautan. Sawerigading lalu mempunyai anak bernama La Galigo yang mempunyai wajah dan sifat serupa dengan ayahnya. Kedua orang inilah yang kemudian dianggap sebagai pahlawan legendaris Bugis. Nama Sawerigading terkenal hingga ke luar Bugis dan Sulawesi Selatan termasuk ke Riau, Malaysia, Madagaskar, bahkan hingga ke Pulau Easter di Pasifik. Konon, dalam cerita, Sawerigading yang membatalkan pelayarannya mengelilingi dunia memberikan mantranya kepada 70 pengawal La Galigo supaya mereka bermuka mirip dengannya. Namun, secara ilmiah terkenalnya nama Sawerigading disebabkan kebiasaan orang-orang Bugis yang suka berlayar jauh, bahkan sampai ke Australia dan mendirikan koloni di utara negara tersebut.
Dalam beberapa versi disebutkan La Galigo yang mempunyai anak bernama La Mappangaro tidak mau mengakui anaknya yang memilih kembali ke Sunra Riaja karena menolak diangkat sebagai penguasa Ale Luwug dan Tana Ugiq. Sehingga La Galigo menyatakan dirinya sebagai penguasa seumur hidup. Namun dalam versi yang lain ia mengangkat anaknya yang lain bernama La Tenritatta.
Ketika Islam masuk dan dominan di Bugis, bukanlah suatu hal yang sulit bagi masyarakat Bugis penganut Tolotang masuk ke dalam Islam sebab konsep penciptaan antara Tolotang yang dimanifestasikan dalam Sureq Galigo dan Islam tidak mengenal perbedaan yang cukup jauh. Selain konsep penciptaan, masyarakat Bugis pra-Islam juga mengenal konsep dunia akhir atau akhirat. Hal yang demikian akan ditemukan pada masyarakat Sunda yang mudah memeluk Islam karena mempunyai konsep yang sama dengan Jati Sunda.
Persamaan konsep ini membuat La Galigo tetap mendapat tempat di dalam masyarakat Bugis. Hanya saja beberapa prakteknya diubah supaya memenuhi syariat Islam. Ia tetap dibaca dan dilagukan ketika akan masyarakat Bugis akan menyembelih sapi, doa tolak bala dan bencana, membangun rumah, pesta perkawinan, dan lain-lain. Di sinilah terlihat kearifan lokal masyarakat Bugis. Bahkan nama La Galigo menjadi nama museum, nama sebuah ormas, kios, dan jalan di Sulawesi Selatan dan Balikpapan, salah satu tempat merantau orang Bugis di Kalimantan.
Kebesaran La Galigo sebagai sebuah epos pun pernah dipentaskan oleh Robert Wilson pada 2004 dan melalui pementasan itu La Galigo diajak keliling benua sehingga masyarakat dunia pun mengenal La Galigo sebuah epos terbesar di Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia. Pada 2011 La Galigo pun akhirnya dipentaskan di tanah kelahirannya, Makassar. Namun, mengingat orang-orang Bugis sebagai pemilik cerita La Galigo telah menyebar ke mana-mana, termasuk juga ke Malaysia, amatlah wajar jika La Galigo merupakan bagian dari mereka yang kemudian ingin melestarikan La Galigo di tanah rantau. Jadi, bersikap arif dan dewasalah jika di kemudian hari muncul keinginan melestarikan itu yang bukan bermaksud mengklaim.
id.wikipedia.org |
Sebagai sebuah bangsa maritim, Indonesia juga mempunyai epos. Epos ini berasal dari Sulawesi Selatan dan bernama Sureq Galigo. Bagi kebanyakan orang di Indonesia, mungkin tidak mengetahui epos yang satu ini tetapi tidak bagi mereka yang berada di Sulawesi Selatan atau mereka yang berdarah Bugis. Sureq Galigo atau La Galigo merupakan epos asli Indonesia yang menceritakan tentang proses penciptaan bumi dan penurunan manusia pertama ke bumi oleh sang pencipta yang disebut dengan Sang Patoqoqe. Epos ini merupakan epos yang panjang narasinya 300.000 baris teks dengan 9.000 halaman portofolio. Ini yang menyebabkan Sureq Galigo menjadi sebuah karya terbesar di dunia serta mengalahkan Ramayana dan Mahabharata yang hanya berjumlah 160.000-200.000 teks.
Keberadaan Sureq Galigo menjadi sebuah epos terbesar tentu mengundang perhatian besar. Menurut Dul Abdul Rahman yang menulis ulang La Galigo yang diterbitkan Diva Press, Sureq Galigo selalu menjadi objek penelitian akademisi ilmu sastra dari Belanda. Di negeri inilah, tepatnya di Universitas Leiden, Sureg Galigo tersimpan rapi dalam salinan sebanyak 12 jilid. Salah satu peneliti itu ialah R.A. Kern yang menulis dalam bukunya, Catalogus van de Boegineesche tot de I la Galigocylus Behoorende Handschriften der Leidsche Universiteitbibliotheek yang diterbitkan pada 1939. Dialah tokoh, yang setelah melakukan penelitian terhadap Sureq Galigo, menyatakan bahwa epos ini setara dengan epos-epos besar legendaris lainnya di dunia. Kemudian oleh Koolhof ditambahkan bahwa Sureq Galigo melebihi epos-epos besar lainnya dalam baris teks dan penceritaan.
toraja-cyber-news |
Awalnya, Sureq Galigo merupakan cerita yang sudah berkembang dan mengakar di kalangan masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Kemudian cerita itu ditulis dan dibukukan kembali oleh Collig Pujie Arung Pancana pada abad ke-19 atas permintaan seorang misionaris Belanda bernama B.F.Mathes. Sureq Galigo dipercaya dibuat pada abad ke-13 dan 15. Ini merupakan sebuah masa masyarakat Bugis belum memeluk Islam sama sekali yang sekarang menjadi agama dominan di masyarakat Bugis dann Sulawesi Selatan. Jadi, bisa dikatakan bahwa Sureq Galigo merupakan pencerminan masyarakat Bugis pra-Islam yang menganut Tolotang. Di dalam cerita terdapat konsep-konsep yang mengarah ke arah tersebut. Seperti sang pencipta yang disebut sebagai Sang Patoqoqe yang mempunyai kekuasaan di Langit, Bumi, dan Peretiwi atau dunia bawah. Dalam Sureq Galigo, Sang Patoqoqe mempunyai istri bernama Datu Palingeq. Ia tinggal di dunia atas bernama Boting Langig dalam istananya, Sao Kutta Parepaqe. Di Boting Langiq juga tinggal dewa-dewa yang membantu Sang Patoqoqe mengatur kehidupan. Awal cerita dimulai ketika Sang Patoqoge ingin menurunkan anaknya, Batara Guru ke bumi yang masih kosong agar hidup dan beranak pinak serta membentuk kekuasaan. Kemudian dari Batara Guru yang menikah dengan We Nyeleq Timoq dari Peretiwi lahirlah Batara Lattuq yang kemudian menurunkan keturunan bernama Sawerigading yang dalam cerita mahsyur sebagai pelaut ulung dan petarung andal di lautan. Sawerigading lalu mempunyai anak bernama La Galigo yang mempunyai wajah dan sifat serupa dengan ayahnya. Kedua orang inilah yang kemudian dianggap sebagai pahlawan legendaris Bugis. Nama Sawerigading terkenal hingga ke luar Bugis dan Sulawesi Selatan termasuk ke Riau, Malaysia, Madagaskar, bahkan hingga ke Pulau Easter di Pasifik. Konon, dalam cerita, Sawerigading yang membatalkan pelayarannya mengelilingi dunia memberikan mantranya kepada 70 pengawal La Galigo supaya mereka bermuka mirip dengannya. Namun, secara ilmiah terkenalnya nama Sawerigading disebabkan kebiasaan orang-orang Bugis yang suka berlayar jauh, bahkan sampai ke Australia dan mendirikan koloni di utara negara tersebut.
Dalam beberapa versi disebutkan La Galigo yang mempunyai anak bernama La Mappangaro tidak mau mengakui anaknya yang memilih kembali ke Sunra Riaja karena menolak diangkat sebagai penguasa Ale Luwug dan Tana Ugiq. Sehingga La Galigo menyatakan dirinya sebagai penguasa seumur hidup. Namun dalam versi yang lain ia mengangkat anaknya yang lain bernama La Tenritatta.
Ketika Islam masuk dan dominan di Bugis, bukanlah suatu hal yang sulit bagi masyarakat Bugis penganut Tolotang masuk ke dalam Islam sebab konsep penciptaan antara Tolotang yang dimanifestasikan dalam Sureq Galigo dan Islam tidak mengenal perbedaan yang cukup jauh. Selain konsep penciptaan, masyarakat Bugis pra-Islam juga mengenal konsep dunia akhir atau akhirat. Hal yang demikian akan ditemukan pada masyarakat Sunda yang mudah memeluk Islam karena mempunyai konsep yang sama dengan Jati Sunda.
Persamaan konsep ini membuat La Galigo tetap mendapat tempat di dalam masyarakat Bugis. Hanya saja beberapa prakteknya diubah supaya memenuhi syariat Islam. Ia tetap dibaca dan dilagukan ketika akan masyarakat Bugis akan menyembelih sapi, doa tolak bala dan bencana, membangun rumah, pesta perkawinan, dan lain-lain. Di sinilah terlihat kearifan lokal masyarakat Bugis. Bahkan nama La Galigo menjadi nama museum, nama sebuah ormas, kios, dan jalan di Sulawesi Selatan dan Balikpapan, salah satu tempat merantau orang Bugis di Kalimantan.
Kebesaran La Galigo sebagai sebuah epos pun pernah dipentaskan oleh Robert Wilson pada 2004 dan melalui pementasan itu La Galigo diajak keliling benua sehingga masyarakat dunia pun mengenal La Galigo sebuah epos terbesar di Indonesia, Asia Tenggara, dan dunia. Pada 2011 La Galigo pun akhirnya dipentaskan di tanah kelahirannya, Makassar. Namun, mengingat orang-orang Bugis sebagai pemilik cerita La Galigo telah menyebar ke mana-mana, termasuk juga ke Malaysia, amatlah wajar jika La Galigo merupakan bagian dari mereka yang kemudian ingin melestarikan La Galigo di tanah rantau. Jadi, bersikap arif dan dewasalah jika di kemudian hari muncul keinginan melestarikan itu yang bukan bermaksud mengklaim.
0 Response to "Sureq Galigo: Epos Terbesar di Asia Tenggara dan Dunia"
Post a Comment