Pol Pot: Manusia Normal yang Menjadi Bengis
Masa kelam Kamboja berada di tangannya. Genosida, ladang pembantaian lekat pada dirinya. Seseorang yang sebenarnya biasa saja namun berubah menjadi seorang diktator bengis.
------------------------------------
Empat tahun sejujurnya merupakan waktu yang singkat. Namun, bagi sebagian besar rakyat Kamboja empat tahun bukan hanya merupakan waktu yang singkat, melainkan juga waktu yang bisa mempersingkat hidup orang banyak. Ini karena di negara tersebut empat tahun diwarnai dengan aksi-aksi penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian rakyat sipil oleh tentara Khmer Merah. Kejadiannya berada pada 1975-1979. Masa ini merupakan masa Kamboja diperintah seseorang bernama Pol Pot.
Bagi rakyat Kamboja Pol Pot adalah gambaran sebuah teror keji yang tega menghabiskan nyawa banyak orang pada masa pemerintahannya. Ia adalah seorang pemimpin sosialis yang terinspirasi oleh gerak komunis di Cina yang dipimpin Mao Zedong. Ia terpikat oleh Revolusi Kebudayaan ala Mao dan menginginkan segala sesuatu yang berbau tradisional dan menjadi penghalang disingkirkan. Ia juga ingin setiap orang memulai kehidupannya dari nol. Maksudnya, mereka yang sudah mapan tinggal di kota harus mau kembali ke desa bekerja bersama-sama masyarakat desa membangun dengan cara bercocok tanam. Cara yang demikian, menurutnya, tidak akan menciptakan kesenjangan antar-kelas. Di dalam masa pemerintahannya terbagi dua kelompok masyarakat, yaitu masyarakat lama dan masyarakat baru. Masyarakat lama ialah masyarakat desa yang sudah lama menjadi simpatisan Pol Pot. Masyarakat baru ialah masyarakat kota yang terdiri dari para pegawai pemerintahan, kaum intelektual, pegawai seni dan kerajaan, dan pedagang.
Cita-cita Pol Pot ialah menciptakan Kamboja yang sosialis, sama rata, sama rasa. Namun, dalam prakteknya, terjadi tindak tidak berperikemanusiaan. Mereka yang menentang ditangkap, ditahan lalu disiksa serta dikubur bersama-sama dalam satu lubang di sebuah padang atau pohon, bahkan di sebuah pemakaman Cina. Praktek penyiksaan itu jelas terekam di Tuol Sleng, sekolah Prancis yang oleh Pol Pot diubah menjadi sebuah tempat penahanan dan penyiksaan. Tuol Sleng yang terletak di Phnomh Penh merupakan tujuan wisata Kamboja selain Angkor Wat.
Tentu saja masa-masa teror yang diciptakan Pol Pot mengusik pertanyaan banyak orang mengapa ia bisa sekeji itu melalui tangan-tangan orang-orang kepercayaannya? Jika melihat masa lalu sang diktator yang juga psikopatis itu sesungguhnya tak ada yang istimewa pada diri Pol Pot. Terlahir dengan nama Saloth Sar pada 25 Mei 1928 di Presk Sbauv, Kompong Thom, Pol Pot adalah anak seorang pedagang kaya bernama Pen Saloth yang memiliki 9 hektare sawah. Ibunya, Sok Nem, adalah seorang dermawan yang dihormati di kampungnya. Boleh dikatakan, Pol Pot bersama delapan saudaranya hidup berkecukupan. Pol Pot yang juga anti-Kerajaan Kamboja nyatanya juga memiliki pertalian erat dengan kerajaan. Meak, saudara sepupunya, merupakan penari kerajaan yang kemudian menjadi selir raja Sisiwath Monivong, kakek Norodom Sihanouk. Karena itulah, Pol Pot semasa kecil hingga remaja bisa memasuki istana kerajaan dan bersekolah yang layak di dalam lingkungan kerajaan. Semua itu dibiayai oleh Meak. Di dalam istana ia juga belajar agama Budha dan sempat menjadi biksu. Tentu timbul pertanyaan mengapa Pol Pot yang sempat belajar agama malah menjadi sosok yang kejam di kemudian hari?
Namun, kehidupan dalam istana yang serbamewah dan glamor memang tidak membuatnya nyaman. Ada semacam kegelisahan dalam dirinya kala melihat kesenjangan antara istana dan luar istana. Hal ini yang mempengaruhi dirinya supaya kesenjangan itu hilang dan semua menjadi sama. Dan itu ia praktekkan ketika memerintah. Pol Pot dikenal sebagai seorang yang anti-asing. Namun, ia tetap saja tidak bisa menghindar untuk belajar sesuatu yang asing, bahasa Prancis. Ini mengingat Kamboja merupakan wilayah protektorat Prancis. Sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan istana tentu menjadi kewajibah untuk bersekolah yang tepat bagi dirinya. Dari sekolah kristen yang memakai bahasa Prancis sebagai pengantar inilah, Pol Pot mahir berbahasa Prancis. Bahasa itulah yang kemudian mengantar dirinya bersekolah di Prancis karena beasiswa yang didapat pada 1949.
Bersekolah di Prancis jelas merupakan harapan setiap orang di Kamboja, terutama para intelektual. Apalagi negeri yang menjajah Kamboja ini sedang giat-giatnya menjadi pusat pemikiran pasca-modern, kiblat mode dan ilmu pengetahuan serta pusat gerakan sosialis dan komunis di Eropa. Tentu saja menjadi sebuah keharusan jika bersekolah di sana haruslah pulang kembali ke Tanah Air mendapat gelar. Namun tidak demikian dengan Pol Pot. Selama tiga tahun ia di Prancis, ia hanya menjadi seorang mahasiswa biasa yang lebih tertarik pada kegiatan di luar kampus, Cite Universitaire. Ia merasa kesepian di "negeri mode" itu. Namun, di Prancis inilah ia berkenalan dengan pemikiran para sastrawan Prancis seperti Victor Hugo dan Arthur Rimbaud. Ia mengagumi pemikiran sosialis Jean Jacques-Russeau. Di luar itu ia pun berkenalan dengan perempuan yang akan menjadi istrinya, Khiu Ponnary. Namun, yang lebih penting lagi, ia berkenalan dengan ajaran komunis. Melalui ajaran inilah, Pol Pot mengutarakan ketertarikannya. Apalagi ia kemudian bergabung dengan liga mahasiswa Kamboja yang mengagumi ajaran-ajaran Marxis. Ketertarikan Pol Pot terhadap komunis inilah yang akan mempengaruhi jalan hidupnya untuk merebut kekuasaan dari Norodom Sihanouk. Apalagi ia adalah anggota penting Partai Komunis Kamboja yang dibentuk karena terinspirasi gerakan komunis Mao Zedong di Cina dan sebagai pecahan dari Partai Komunis Indocina. Di Prancis inilah, Pol Pot menulis sebuah esai untuk majalah Khmer, Khmer Nisut. Dalam tulisan delapan halaman yang menyinggung aksi pembubaran parlemen oleh Norodom Sihanouk berjudul Monarki atau Demokrasi, ia menggunakan nama pena Khmer Daom atau asli Khmer.
***
Tanggal 7 Januari 1979. Tiba-tiba Vietnam menyerbu Kamboja. Invasi yang dilakukan tetangga di sebelah timur itu sebenarnya diawali dengan konflik skala kecil antar kedua negara. Namun, konflik itu hanyalah sekian alasan dari memburuknya hubungan dua kekuatan besar komunis, Rusia dan Cina. Vietnam yang didukung Rusia mendompleng Khmer Merah Kamboja yang didukung Cina. Pendomplengan ini didukung oleh simpatisan Vietnam seperti Lon Nol yang dikudeta oleh Pol Pot. Lon Nol sendiri adalah Perdana Menteri Kamboja yang memerintah antara 1972-1975. Serangan Vietnam otomatis meruntuhkan dan menghentikan kekejaman rezim Khmer Merah. Pol Pot bersama pengikutnya kemudian melarikan diri ke hutan-hutan. Melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Kamboja yang dibentuk Vietnam serta meneror pasukan PBB yang ditempatkan di negara itu ketika terjadi transisi pemerintahan. Pol Pot tetap berada di hutan hingga akhir hayatnya pada 15 April 1998. Ia meninggal di sebuah rumah sederhana. Kematian Pol Pot otomatis juga menghentikan pemberontakan Khmer Merah yang kemudian beberapa tokohnya ditangkap dan diadili. Namun kematiannya kenyataannya belum bisa menghapus memori buruk sebagian besar rakyat Kamboja.
------------------------------------
Empat tahun sejujurnya merupakan waktu yang singkat. Namun, bagi sebagian besar rakyat Kamboja empat tahun bukan hanya merupakan waktu yang singkat, melainkan juga waktu yang bisa mempersingkat hidup orang banyak. Ini karena di negara tersebut empat tahun diwarnai dengan aksi-aksi penangkapan, penyiksaan, dan pembantaian rakyat sipil oleh tentara Khmer Merah. Kejadiannya berada pada 1975-1979. Masa ini merupakan masa Kamboja diperintah seseorang bernama Pol Pot.
viewsyntax.com |
www.sharewhy.com |
Cita-cita Pol Pot ialah menciptakan Kamboja yang sosialis, sama rata, sama rasa. Namun, dalam prakteknya, terjadi tindak tidak berperikemanusiaan. Mereka yang menentang ditangkap, ditahan lalu disiksa serta dikubur bersama-sama dalam satu lubang di sebuah padang atau pohon, bahkan di sebuah pemakaman Cina. Praktek penyiksaan itu jelas terekam di Tuol Sleng, sekolah Prancis yang oleh Pol Pot diubah menjadi sebuah tempat penahanan dan penyiksaan. Tuol Sleng yang terletak di Phnomh Penh merupakan tujuan wisata Kamboja selain Angkor Wat.
Tentu saja masa-masa teror yang diciptakan Pol Pot mengusik pertanyaan banyak orang mengapa ia bisa sekeji itu melalui tangan-tangan orang-orang kepercayaannya? Jika melihat masa lalu sang diktator yang juga psikopatis itu sesungguhnya tak ada yang istimewa pada diri Pol Pot. Terlahir dengan nama Saloth Sar pada 25 Mei 1928 di Presk Sbauv, Kompong Thom, Pol Pot adalah anak seorang pedagang kaya bernama Pen Saloth yang memiliki 9 hektare sawah. Ibunya, Sok Nem, adalah seorang dermawan yang dihormati di kampungnya. Boleh dikatakan, Pol Pot bersama delapan saudaranya hidup berkecukupan. Pol Pot yang juga anti-Kerajaan Kamboja nyatanya juga memiliki pertalian erat dengan kerajaan. Meak, saudara sepupunya, merupakan penari kerajaan yang kemudian menjadi selir raja Sisiwath Monivong, kakek Norodom Sihanouk. Karena itulah, Pol Pot semasa kecil hingga remaja bisa memasuki istana kerajaan dan bersekolah yang layak di dalam lingkungan kerajaan. Semua itu dibiayai oleh Meak. Di dalam istana ia juga belajar agama Budha dan sempat menjadi biksu. Tentu timbul pertanyaan mengapa Pol Pot yang sempat belajar agama malah menjadi sosok yang kejam di kemudian hari?
Namun, kehidupan dalam istana yang serbamewah dan glamor memang tidak membuatnya nyaman. Ada semacam kegelisahan dalam dirinya kala melihat kesenjangan antara istana dan luar istana. Hal ini yang mempengaruhi dirinya supaya kesenjangan itu hilang dan semua menjadi sama. Dan itu ia praktekkan ketika memerintah. Pol Pot dikenal sebagai seorang yang anti-asing. Namun, ia tetap saja tidak bisa menghindar untuk belajar sesuatu yang asing, bahasa Prancis. Ini mengingat Kamboja merupakan wilayah protektorat Prancis. Sebagai seseorang yang dibesarkan di lingkungan istana tentu menjadi kewajibah untuk bersekolah yang tepat bagi dirinya. Dari sekolah kristen yang memakai bahasa Prancis sebagai pengantar inilah, Pol Pot mahir berbahasa Prancis. Bahasa itulah yang kemudian mengantar dirinya bersekolah di Prancis karena beasiswa yang didapat pada 1949.
Bersekolah di Prancis jelas merupakan harapan setiap orang di Kamboja, terutama para intelektual. Apalagi negeri yang menjajah Kamboja ini sedang giat-giatnya menjadi pusat pemikiran pasca-modern, kiblat mode dan ilmu pengetahuan serta pusat gerakan sosialis dan komunis di Eropa. Tentu saja menjadi sebuah keharusan jika bersekolah di sana haruslah pulang kembali ke Tanah Air mendapat gelar. Namun tidak demikian dengan Pol Pot. Selama tiga tahun ia di Prancis, ia hanya menjadi seorang mahasiswa biasa yang lebih tertarik pada kegiatan di luar kampus, Cite Universitaire. Ia merasa kesepian di "negeri mode" itu. Namun, di Prancis inilah ia berkenalan dengan pemikiran para sastrawan Prancis seperti Victor Hugo dan Arthur Rimbaud. Ia mengagumi pemikiran sosialis Jean Jacques-Russeau. Di luar itu ia pun berkenalan dengan perempuan yang akan menjadi istrinya, Khiu Ponnary. Namun, yang lebih penting lagi, ia berkenalan dengan ajaran komunis. Melalui ajaran inilah, Pol Pot mengutarakan ketertarikannya. Apalagi ia kemudian bergabung dengan liga mahasiswa Kamboja yang mengagumi ajaran-ajaran Marxis. Ketertarikan Pol Pot terhadap komunis inilah yang akan mempengaruhi jalan hidupnya untuk merebut kekuasaan dari Norodom Sihanouk. Apalagi ia adalah anggota penting Partai Komunis Kamboja yang dibentuk karena terinspirasi gerakan komunis Mao Zedong di Cina dan sebagai pecahan dari Partai Komunis Indocina. Di Prancis inilah, Pol Pot menulis sebuah esai untuk majalah Khmer, Khmer Nisut. Dalam tulisan delapan halaman yang menyinggung aksi pembubaran parlemen oleh Norodom Sihanouk berjudul Monarki atau Demokrasi, ia menggunakan nama pena Khmer Daom atau asli Khmer.
***
Tanggal 7 Januari 1979. Tiba-tiba Vietnam menyerbu Kamboja. Invasi yang dilakukan tetangga di sebelah timur itu sebenarnya diawali dengan konflik skala kecil antar kedua negara. Namun, konflik itu hanyalah sekian alasan dari memburuknya hubungan dua kekuatan besar komunis, Rusia dan Cina. Vietnam yang didukung Rusia mendompleng Khmer Merah Kamboja yang didukung Cina. Pendomplengan ini didukung oleh simpatisan Vietnam seperti Lon Nol yang dikudeta oleh Pol Pot. Lon Nol sendiri adalah Perdana Menteri Kamboja yang memerintah antara 1972-1975. Serangan Vietnam otomatis meruntuhkan dan menghentikan kekejaman rezim Khmer Merah. Pol Pot bersama pengikutnya kemudian melarikan diri ke hutan-hutan. Melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Kamboja yang dibentuk Vietnam serta meneror pasukan PBB yang ditempatkan di negara itu ketika terjadi transisi pemerintahan. Pol Pot tetap berada di hutan hingga akhir hayatnya pada 15 April 1998. Ia meninggal di sebuah rumah sederhana. Kematian Pol Pot otomatis juga menghentikan pemberontakan Khmer Merah yang kemudian beberapa tokohnya ditangkap dan diadili. Namun kematiannya kenyataannya belum bisa menghapus memori buruk sebagian besar rakyat Kamboja.
jaunted.com |
0 Response to "Pol Pot: Manusia Normal yang Menjadi Bengis"
Post a Comment