Film-Film Bela Diri Asia Tenggara Kontemporer: Sebuah Alternatif di Tengah Bela Diri Mandarin
Nama film itu
adalah Yasmine. Dari judul yang terlihat feminim film jelas mengisahkan
seorang wanita bernama Yasmine. Namun Yasmine dalam film ini bukanlah wanita
yang biasa-biasa saja. Ia adalah seorang wanita bela diri peraga silat. Ya,
itulah yang hendak ditawarkan di dalam Yasmine, sebuah film bela diri
kerja sama antara Indonesia-Brunei Darussalam pada 2014 ini. Film ini sekaligus
menjadi film Brunei pertama semenjak vakumnya industri film mereka pada 1960.
wikipedia.org |
wikipedia.org |
Munculnya Yasmine
boleh dibilang membawa angin kesegaran untuk film bela diri dari Asia Tenggara.
Selama ini film bela diri kebanyakan didominasi oleh Cina dan Hongkong,
terkadang Jepang. Nama-nama seperti Jackie Chan, Jet Li, Chow Yun Fat, dan
Donnie Yen sudah tidak asing di telinga para penikmat film-film laga
internasional. Aksi-aksi para bintang itu pun berlanjut ke dalam gema Hollywood
yang kemudian dipadupadankan dan diadu dengan bintang-bintang Hollywood seperti
Jason Statham, Wesley Snipes, Keanu Reeves, dan Mark Dacascos. Hasil itu
seperti melanjutkan kesuksesan mempertemukan antara Bruce Lee dan Chuck Noriss
dalam Way of The Dragon (1972).
Dominasi
Cina-Hongkong dalam jagat film bela diri memang tidak bisa dihindari. Selain
asal film jenis ini dari dua negara Asia Timur itu, film silat yang terkenal
dengan nama Mandarinlah yang menjadi tontonan populer di seluruh dunia.
Ceritanya yang ringkas, langsung pada pokok persoalan dengan mempertontonkan
adegan-adegan pertarungan, dan diakhiri dengan kemenangan si tertindas
merupakan hal yang mudah dipahami daripada film-film yang sarat akan dialog dan
tembak-menembak. Belum lagi keinginan para sineas film itu untuk memperkenalkan
bela diri Kung Fu ke dunia internasional melalui film. Hal inilah yang kemudian
disadari Hollywood ketika mereka berusaha memasukkan film ini jenis ke industri
mereka dengan menggaet bintang-bintang laga Asia Timur. Suksesnya Crouching
Tiger Hidden Dragon (1999) yang memenangkan
empat Piala Oscar semakin menambah gengsi film bela diri Mandarin. Di
samping bela diri Mandarin, Sonny Chiba asal Jepang juga berupaya memperkenalkan
karate dalam Karate Kiba (1973) sehingga karate dikenal. Bersama-sama
dengan Kung Fu, Karate pun menjadi bela diri favorit dan wajib dalam setiap
film laga Hollywood yang kebetulan berbasis video game seperti Mortal
Kombat, Double Dragon, dan Tekken.
Dominasi Asia
Timur dalam film bela diri lama-kelamaan dirasakan membosankan. Para penikmat
film bela diri mencoba melihat potensi film lainnya. Kali ini masih dari Asia
namun berbeda nama, yaitu Asia Tenggara. Di kawasan inilah terdapat juga
tradisi bela diri. Sebut saja Pencak Silat, Silat, Muay-Thai, Muay-Boran,
Muay-Lao, Lethwei, Eskrima, Pradal Serey, dan Tomoi. Tradisi-tradisi bela diri
di Asia Tenggara inilah yang sejatinya membentuk karakter kepribadian
orang-orang di kawasan ini, terutama dalam membangun peradaban. Sepintas dengan
tradisi-tradisi bela diri itu orang-orang Asia Tenggara mempunyai fisik yang
lentur dan kuat seperti di Asia Timur. Hanya hal itu jarang terekspose ke layar
lebar internasional.
Barulah pada
2003, Tony Jaa, seorang penggemar Jet Li dan film-film Mandarin dari Thailand membuka
mata mengenai bela diri Asia Tenggara melalui trilogi Ong-Bak dan
dwilogi Tom-Yum Goong. Melalui aksi laganya yang bersandarkan kepada
Muay-Boran, mata dunia internasional seakan-akan menjadi terbuka ketika film
bela diri tak melulu Kung Fu dan Karate. Aksi Muay-Boran yang diperagakan oleh
Tony Jaa menjadi alternatif dalam sebuah film laga karena rupanya bisa
mengimbangi dan melebihi Kung Fu dan Karate. Ong Bak seketika sukses di
Thailand yang berimbas juga kepada kesuksesan di luar negeri.
Sukses Ong
Bak rupanya cukup berpengaruh di kawasan Asia Tenggara. Pada 2007 Vietnam
merilis dua film bela diri mereka, yaitu Clash dan The Rebel.
Kedua film memperlihatkan aksi bela diri tradisional Vietnam yang mendapat
pengaruh dari Cina. Kedua film itu cukup sukses, terutama The Rebel yang
mendapat pengakuan internasional. Salah bintangnya ialah Dustin Nguyen, artis
AS berdarah Vietnam.
Setelah Vietnam
giliran Indonesia yang mencoba meng-go-international-kan bela diri
tradisional, Pencak Silat. Merantau (2009) menjadi film Indonesia yang
berupaya mempromosikan Pencak Silat ke dunia internasional. Film yang memakai
Siluek Harimau dan dibintangi Iko Uwais ini rupanya cukup memukau dan
mendapatkan penghargaan di dunia film internasional. Sehabis Merantau
muncullah dwilogi The Raid yang rupanya tak hanya memukau mata penonton
di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Iko Uwais kembali menjadi ikon
dalam dua film besutan sutradara Gareth Evans itu. Ketenarannya mulai
disanding-sandingkan dengan Tony Jaa. Bahkan ada juga yang menyandingkan antara
The Raid dan Ong Bak sebagai dua film laga bela diri kontemporer
terbaik.
Sukses yang
dialami The Raid sebagai film bela diri paling sadis dan brutal membuat
Malaysia ingin membuat film serupa. Lahirlah kemudian 1 Lawan 1 dan
Lari yang diproduksi pada 2013. Kedua film ini memang tidak diproyeksikan
untuk go internasional, tetapi lebih ke dalam negeri. Kedua film
menampilkan adegan bela diri silat dan mendapat sambutan hangat penonton di
dalam negeri. Lari, film yang dibintangi Aaron Azis disebut mengikuti
alur The Raid.
Munculnya
film-film bela diri Asia Tenggara kontemporer dalam jagat film internasional
dalam rentang 11 tahun terakhir telah menjadi semacam alternatif bagi penikmat
film laga yang ingin melihat bentuk bela diri lain dari Asia. Film-film itu
menjadi ajang pengakuan bahwa Asia Tenggara sebenarnya mampu membuat film bela
diri yang jauh lebih berkualitas daripada film-film Mandarin atau Jepang. Akan
tetapi, untuk mencapai taraf seperti Crouching Tiger Hidden Dragon masih
membutuhkan proses panjang mengingat tak semua orang juga menyukai film bela
diri yang identik dengan kekerasan.
makasih infonya bermanfaat bgt gan, kebetulan ane lagi cari film kungfu terbaik
ReplyDelete