Indonesia/Melayu Raya: Konsep Geopolitik yang Tidak Pernah Terwujud
“Mari kita
ciptakan satu tanah air bagi mereka bagi keturunan dari Indonesia”
Itulah kalimat yang
diucapkan Soekarno sembari menjabat tangan Ibrahim Yaakob. Jabat
tangan keduanya merupakan peristiwa bersejarah yang banyak dilupakan.
Jabat tangan itu mengindikasikan Soekarno dan Ibrahim Yaakob setuju
membentuk negara besar bernama Indonesia/Melayu Raya yang meliputi
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Semenanjung
Melayu, Sabah, Serawak, Brunei, Pattani, dan Singapura. Inilah sebuah
negara besar yang dicita-citakan dari penyatuan ras Melayu di
Nusantara. Yang pernah bersatu di bawah kekuasaan Sriwijaya,
Majapahit, Malaka, dan Johor.
mighty-history.blogspot.com |
Akan tetapi, baik
Soekarno maupun Ibrahim, sebenarnya berbeda pendapat mengenai konsep
sebuah negara besar itu. Soekarno, yang berdasarkan konsep Mohammad Yamin, menghendaki sebuah negara besar
yang juga memasukkan Maluku, Timor (NTT), dan Papua, yang
dalam pandangan Ibrahim, ketiga wilayah itu bukanlah wilayah ras
Melayu. Mengenai nama pun, Soekarno menyodorkan nama Indonesia Raya
untuk merangkul semua etnis di Nusantara yang non-Melayu. Sementara
nama Melayu dianggap hanya mewakili satu etnis. Apalagi dalam
pandangan Soekarno, etnis Melayu tidaklah lebih besar pengaruhnya dan
sama dengan etnis-etnis lainnya.
Akhirnya pertemuan
kedua pimpinan, yang terjadi pada 13 Agustus 1945 di Taiping, Perak,
itu menyetujui tanggal kemerdekaan pada 24 Agustus 1945. Ini adalah
pertemuan kedua pemimpin beserta wakil-wakilnya dalam kurun Agustus
1945. Pertemuan sebelumnya terjadi di Payalebar, Singapura tanggal 8.
Dalam pertemuan itu, Soekarno, yang ditemani Hatta, juga Radjiman
Wediodiningrat, hendak ke Dalat (Ho Chi Minh), Vietnam untuk bertemu
Marsekal Terauchi, pimpinan Jepang di Asia Tenggara. Pertemuan itu
untuk membahas kemerdekaan Indonesia. Di Singapura, pada delegasi
Indonesia itu hanya transit. Ketika itu, Ibrahim Yaakob dan Dr.
Burhanuddin Helmi menemui para delegasi Indonesia. Menyambut dengan
bendera Merah-Putih. Keduanya telah membentuk KRIS (Komite Rakyat
Indonesia Semenanjung) yang bertugas mengakomodasi penyatuan
Indonesia dan Semenanjung Malaya kala merdeka. Mereka menginginkan
penyatuan itu harus ikut dibicarakan di Dalat.
Ketika tanggal
kemerdekaaan sudah ditetapkan, situasi di dalam negeri bergolak cepat
seiring dengan menyerahnya Jepang pada 15 Agustus 1945, yang menandai
berakhirnya Perang Dunia Kedua di Asia-Pasifik. Apa daya kesepakatan
itu pun pudar ketika para pemuda revolusioner menculik Bung Karno
untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Proklamasi pun
digemakan pada 17 Agustus 1945 tanpa mengikutsertakan Semenanjung
Malaya di dalamnya. Otomatis, Ibrahim Yaakob dan kawan-kawan kecewa.
Namun, keinginan membentuk Melayu Raya masih terus tertanam dalam
dirinya saat ia ikut dalam revolusi kemerdekaan Indonesia, perjuangan
membebaskan Semenanjung Malaya dari tangan Inggris, dan Konfrontasi.
choiruddin.com |
Indonesia/Melayu
Raya seperti dikatakan sebelumnya merupakan konsep penyatuan wilayah
yang berisi ras-ras Melayu yang tersebar di Nusantara. Konsep ini
lahir dari kesamaan nasib dan sejarah di masa lalu yang digunakan
sebagai dasar melawan penjajahan bangsa Barat (Eropa). Konsep Melayu
Raya berawal dari seorang guru sejarah bernama Abdul Hadi Hassann
yang mengajar di Sultan Idris Training College for Malay Teachers.
Ibrahim Yaakob bersama para kompatriot penggagas Melayu Raya
bersekolah di sini. Ibrahim yang terpesona dengan gerakan-gerakan
revolusi Indonesia dan pemikiran-pemikiran Tan Malaka lantas
mendirikan organisasi nasionalis Melayu bernama Kesatuan Melayu Muda
(KMM) pada 1938. Di Indonesia konsep serupa digagas oleh Mohammad
Yamin, Buya Hamka, dan Soekarno.
otakumilitia |
Jauh sebelumnya,
konsep yang mempersatukan ras Melayu sudah didengungkan dari
Kepulauan Filipina, tepatnya oleh Apolinaro Mabini, sang revolusioner
Filpina dan salah satu pahlawan nasional negara itu. Konsep itu
kemudian diteruskan oleh Jose Rizal, bapak revolusioner Filipina
dalam novel satirnya, Noli Me Tangere. Sayangnya, konsep
penyatuan ras Melayu ala mereka tak bergaung alias terbentur tembok
kolonialis. Belum lagi pandangan kebanyakan orang Melayu yang melihat
para revolusioner Filipina ini jauh dari kesan Melayu yang identik
dengan Islam dan berbahasa Melayu. Padahal, kedua orang itu juga
berdarah Melayu mengingat secara historis Filipina di masa sebelum
kedatangan kolonialis Spanyol merupakan wilayah Melayu. Kerajaan dan
kesultanan yang pernah bercokol di Filipina menjadi bukti-bukti hal
tersebut.
wikipedia |
Ketika konsep awal
dari Filipina ini berlanjut ke Nusantara yang kemudian berupaya diwujudkan oleh
Ibrahim Yaakob dengan KMM-nya, dan berharap Semenanjung Malaya
bergabung dengan Indonesia meski Indonesia telah merdeka terlebih
dahulu, di wilayah semenanjung konsep ini dianggap membahayakan bagi
kedudukan para bangsawan Melayu. Apalagi KMM yang menggemakan
revolusi Melayu dicap berhaluan kiri dan fasis dan disetarakan dengan
Partai Komunis Malaya. Dalam revolusi tertanam sifat anti-feodal yang
berarti para bangsawan itu akan kehilangan kekuasaannya. Keadaan yang
demikian terjadi di Indonesia yang tentunya membuat mereka ketakutan.
Karena itulah, para bangsawan Melayu lebih berpihak kepada Inggris
yang kemudian memfasilitasi mereka untuk membuat UMNO (United Malays
National Organization) atau organisasi Melayu Bersatu pada 1946.
Pertentangan itu juga yang dialami oleh Ibrahim ketika pada 1955 oleh
Soekarno dipertemukan dengan Tunku Abdul Rahman membahas masa depan
Semenanjung Malaya. Tunku Abdul Rahman, bangsawan Negeri Sembilan
keturunan Minangkabau lebih menyukai Semenanjung Malaya bergabung
dengan Persemakmuran Inggris Raya sedangkan Ibrahim lebih kepada
kerangka Indonesia/Melayu Raya seperti cita-cita awal. Akhirnya,
perbedaan ini terus meruncing dan menyebabkan Ibrahim tetap berjuang
mempersatukan Semenanjung Malaya ke dalam Indonesia. Ketika masa
Konfrontasi pun ia ikut bergabung memerangi Semenanjung Malaya yang
sudah merdeka pada 1957 dengan nama Federasi Malaysia namun
menginginkan Sabah, Sarawak, dan Brunei. Ia sepemikiran dengan
Soekarno yang menganggap Federasi Malaysia bentukan Inggris.
Konfrontasi memang menjadi upaya terakhir bagi Ibrahim, juga Soekarno
untuk coba mengintegrasikan Semenanjung Malaya, Singapura, Sabah,
Sarawak, dan Brunei ke dalam konsep Indonesia/Melayu Raya. Konsep
yang sama juga sudah didengungkan kembali oleh Diosdado Macapagal,
Presiden Filipina, yang menyadari tentang pentingnya Ketuanan Melayu
di Asia Tenggara melalui Mafilindo. Akan tetapi, Mafilindo gagal
karena Konfrontasi, dan setelah Konfrontasi konsep itu tak pernah
terjadi sama sekali. Alias hanya di atas kertas.
0 Response to "Indonesia/Melayu Raya: Konsep Geopolitik yang Tidak Pernah Terwujud"
Post a Comment