-->

Menjejak Para Daeng di Bumi Gajah Putih

Tersebutlah Daeng Mangalle, seorang bangsawan Bugis. Akibat situasi politik yang tidak kondusif di Makassar pada 1644 membuat ia dan 250 pengikutnya melarikan diri, mencari tanah baru untuk kehidupan selanjutnya. Setelah beberapa hari berlayar sampailah ia di Siam (Thailand), yang pada masa itu sedang dikuasai oleh Ayutthaya, kerajaan yang akrab di telinga orang-orang Eropa, dan ibu kotanya ramai dikunjungi banyak pedagang dari berbagai negara. Di Ayutthaya, oleh Phra Narai, raja yang sedang berkuasa, Daeng Mangalle bersama pengikutnya diterima dan ditempatkan di sebuah kawasan khusus untuk orang-orang Bugis atau dari Makassan (lidah Thailand untuk Makassar).

timur-angin.com

Setelah ditempatkan, Daeng Mangalle beserta pengikutnya mulai mencari penghidupan dengan menjadi serdadu bayaran di lingkungan kerajaan Ayutthaya dan kongsi dagang Belanda, VOC, yang memang mempunyai markas di wilayah kerajaan terbesar Thailand itu. Kehidupan awal sang daeng beserta komunitas Bugisnya berjalan lancar-lancar saja. Mereka menjadi bagian komunitas internasional di Ayutthaya. Selain mereka, terdapat komunitas dari Persia, Melayu, Champa, Jepang, Belanda, dan Prancis.

Namun semua berubah ketika Phra Narai mendatangkan serdadu-serdadu Prancis pimpinan Claude de Forbin. Serdadu-serdadu itu didatangkan untuk menjadi pengawal sang raja. Kondisi di Ayutthaya yang rawan dengan kudeta perebutan takhta menyebabkan sang raja perlu mengamankan kekuasaannya. Kedatangan para serdadu Prancis itu ke Ayutthaya dikarenakan hubungan baik yang terbina antara Ayutthaya dan Prancis. Pada masa Phra Narai, Ayutthaya mengirimkan delegasinya ke Prancis yang dipimpin Louis XIV. Dalam sejarah Thailand, Phra Narai dikenal sebagai raja yang membuka banyak hubungan dengan negara-negara Barat. Ia sendiri pun pro-Barat. Bahkan sekretaris kerajaannya berasal dari Yunani bernama Constantine Faulkon, mantan pegawai VOC. Sesuatu yang sesungguhnya tidak dikuasai oleh para penentangnya.

Bagi Daeng Mangalle, kedatangan serdadu-serdadu Prancis itu ibarat bencana. Dengan serdadu-serdadu itu, kedudukan raja semakin kuat sehingga membuka peluang memperbudak Daeng Mangalle dan para pengikutnya. Pada masa itu, perbudakan merupakan hal yang lazim di Ayutthaya. Hal yang sama dirasakan komunitas internasional lainnya, terutama yang muslim. Selain itu, Daeng Mangalle juga bersitegang dengan Faulkon. Kekhawatiran Mangalle bertemu dengan keinginan Phra Petracha, kakak tiri Phra Narai, yang memang tidak menyukai tindak-tanduk sang raja yang terlalu pro-Barat. Membiarkan istana kerajaan dipenuhi oleh orang-orang Barat, terutama Prancis. Claude de Forbin, sang pimpinan serdadu Prancis pun diberi jabatan sebagai Gubernur Bangkok. Keadaan ini tentu mengkhawatirkan para bangsawan yang melihat ada peluang sang raja mengganti kepercayaan dari Buddha ke Kristen. Phra Narai memang memeluk Kristen namun tidak diterima.

Demi menyelamatkan keadaan, komunitas muslim pun bersekutu dengan para bangsawan lokal yang kontra Phra-Narai untuk mengudeta sang raja. Sayangnya, rencana ini pun bocor. Phra Narai menuduh Daeng Mangalle dan menyuruh sang daeng meminta maaf. Namun permintaan itu ditolak. Akibatnya, sang raja melancarkan serangan ke permukiman orang-orang Makassar. Pasukan raja tidak hanya terdiri dari orang-orang Thailand, tetapi juga dari Prancis dan Portugis. Pasukan dipimpin oleh Claude de Forbin. Kelihatannya, dengan jumlah pasukan yang mencapai ribuan, pasukan pimpinan Claude de Forbin akan mudah mematahkan perlawanan orang-orang Makasar yang berjumlah hanya 250 orang. Namun, perkiraan itu salah. Orang-orang Makassar malah semakin berani diserang dengan jumlah sebanyak itu. Mereka bertarung dengan gagah berani. Enam di antaranya bisa menewaskan 300-an orang pasukan Forbin dengan menyerang pagoda-pagoda di Ayutthaya. Kegagahberanian juga diperlihatkan Daeng Mangalle yang berhasil menewaskan seorang menteri kerajaan dan beberapa orang Inggris dengan tombaknya. Akan tetapi, semua ada batasnya. Daeng Mangalle pun tewas setelah itu. Orang-orang Makassar pun kalah. Namun, penduduk Ayutthaya pun kagum akan keberanian mereka. Tak salah jika di kemudian hari sebuah distrik di Bangkok bernama Krung Thep diganti namanya menjadi Makassan sebagai bentuk penghormatan akan keberanian orang-orang Makassar semasa di Ayutthaya. Peristiwa keberanian orang-orang Makassar dicatat Forbin dalam buku hariannya. Setelah kejadian perlawanan orang-orang Makassar, Prancis berinisiatif mengambil dua anak Daeng Mangalle, Daeng Ruru dan Daeng Tulolo untuk dididik. Keduanya diberangkatkan ke Prancis, dibaptis dengan nama Louis Pierre Makassar dan Louis Dauphin Makassar, dan dididik ala Prancis. Keduanya kemudian menjadi tentara Prancis.

Dua tahun kemudian, Phra Petracha meluncurkan kudeta dan berhasil menjungkalkan Phra Narai. Sang raja pun melarikan diri dan beberapa hari kemudian meninggal sakit karena sakit. Dalam kudeta itu, Faulkon ditangkap dan kemudian dipenggal. Sedangkan de Forbin sudah meninggalkan Ayutthaya jauh sebelum kudeta akibat intrik dengan Faulkon. Posisinya digantikan Chevalier de Beauregard yang ketika kudeta ditangkap dan diperbudak. Kudeta itu mengusir semua orang Prancis dan Barat lainnya. Membuat Thailand tidak berhubungan lagi dengan orang-orang Barat sampai abad ke-19.






0 Response to "Menjejak Para Daeng di Bumi Gajah Putih"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel