Rivalitas Maritim Aceh-Johor di Selat Malaka
Kisah rivalitas dua kekuatan muslim di Selat Malaka. Dibumbui
persekutuan dengan Portugis oleh salah satu pihak. Rivalitas demi menjadi
penguasa tunggal.
wikipedia.org |
pancapersada.blogspot.com |
Runtuh dan
berakhirnya kekuasaan Majapahit sebagai penguasa tunggal maritim di Nusantara
pada abad ke-15 tak pelak memunculkan kekuatan-kekuatan kecil yang selama ini
berada di bawah kekuasaan kerajaan maritim terbesar di Asia Tenggara itu.
Keruntuhan itu dibarengi dengan masuknya Islam ke Nusantara yang dimulai dari
Pasai di Aceh. Namun pada masa Islam masuk ke Aceh di Pasai sekitar 1200-an,
pengaruhnya belum begitu besar mengingat Pasai kemudian dikuasai Majapahit.
Barulah pada abad ke-15 pengaruh Islam begitu kuat dan menjadi ciri
kerajaan-kerajaan setelah Majapahit.
Untuk
membedakan dengan kekuasaan di masa Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan ini
menyebut diri mereka kesultanan, suatu hal yang lekat dengan Islam. Setelah
pengaruh Majapahit berkurang, terutama di Semenanjung Malaya, muncullah
kekuatan yang mengatur perdagangan di Selat Malaka dan sekitarnya. Kesultanan
–dahulunya kerajaan- Malaka adalah kekuatan tersebut. Didirikan oleh
Parameswara, seorang pangeran Sriwijaya, yang melarikan diri setelah Palembang
diserbu oleh Majapahit pada 1377, Malaka yang awalnya Hindu berubah menjadi
kesultanan Islam setelah Parameswara menyatakan memeluk Islam di akhir
hayatnya. Semenjak itu Malaka menjadi kekuatan Islam yang disegani dan memiliki
tentara yang mayoritas merupakan orang laut yang mengikat kesetiaan dengan Malaka.
Selat Malaka
yang merupakan jalur perdagangan internasional dimanfaatkan dengan baik oleh
Malaka sebagai devisa kesultanan. Kapal-kapal yang melintas dipaksa berlabuh
namun mereka disuguhkan fasilitas perdagangan dan pergudangan serta sistem
administrasi yang baik. Hal inilah yang menyebabkan banyak kapal yang ingin
bersandar di Malaka. Kesultanan itu kemudian menjadi entrepot.
Strategisnya
Malaka rupanya tercium oleh Ayyutthaya. Kerajaan terbesar di Thailand itu ingin
menguasai Malaka demi politik perdagangannya. Malaka yang mengetahui hal itu
segera meminta perlindungan kepada Dinasti Ming yang menguasai Cina. Namun
masalah tak berhenti di situ. Di seberang Selat Malaka pada 1496 berdirilah
Kesultanan Aceh. Sultan pertama ialah Ali Mughayat Syah. Kesultanan ini begitu
iri dengan status entrepot yang disandang Malaka. Aceh berkeinginan menyerang
Malaka supaya bisa menyandang status sebagai entrepot. Namun keinginan itu
keburu disalib Portugis, yang pada 1511 berhasil menduduki Malaka. Didudukinya
Malaka oleh Portugis membuat beberapa kekuatan lokal di Nusantara berang.
Mereka tidak rela ada kekuatan asing bercokol. Aceh sudah jelas berang. Begitu
juga Demak yang kemudian menyerang Malaka namun gagal.
Namun, di satu
sisi, kejatuhan Malaka membawa sisi positif bagi Aceh. Pusat perdagangan kini
mereka raih. Perlahan tapi pasti Selat Malaka ada dalam genggaman meskipun
Portugis menjadi batu sandungan bagi kesultanan ini yang hendak meluaskan
ekspansinya ke Semenanjung Malaya. Supaya kuat Aceh menjalin diplomasi politik
dan militer dengan Kesultanan Usmaniyah yang kemudian mengirimkan misi militer
dan meriam sehingga Aceh berani memerangi Portugis. Kekuasaan kesultanan ini
meliputi Aceh, Pantai Timur Sumatera, dan Pahang. Puncaknya terjadi pada masa
Sultan Iskandar Muda di awal abad ke-17.
Namun usaha
Aceh untuk menjadi penguasa tunggal atas Selat Malaka bukan masalah Portugis
semata, melainkan munculnya kekuatan baru bernama Johor, kesultanan yang
dahulunya merupakan bagian Malaka, dan berdiri pada 1528 oleh Sultan Alaudin Riayat Syah II. Keduanya lantas berival dan sering berperang
memperebutkan hegemoni perdagangan dan sama-sama mengklaim wilayah di Sumatera
Timur. Keduanya pertama kali berperang pada 1540 untuk memperebutkan supremasi
atas Aru atau Kesultanan Deli. Pada 1564 Aceh berhasil menghancurkan Johor. Lantas
penguasa Johor ditangkap dan dieksekusi di Aceh. Semenjak itu Johor berada di
dalam genggaman Aceh selama dua dekade.
Selama
masa-masa itu, Johor berupaya melepaskan diri pada 1570 namun gagal. Pada 1613
dan 1623 Johor kembali diserang Aceh. Karena mengalami nasib yang tidak begitu
mengenakkan, Johor kemudian beraliansi dengan Portugis, yang juga musuh Aceh,
pada 1582. Aliansi itu membantu Johor atas serangan Aceh yang memang berambisi
besar menjadi penguasa maritim di Selat Malaka. Bantuan itu belum cukup berarti
memberikan kemenangan mengingat Portugis sedang dilanda masalah. Sehingga pada
1587, aliansi bubar ketika Johor menyerang Portugis yang berbuntut pada
hancurnya Johor Lama dalam serangan balasan. Rivalitas kedua kekuatan itu di
Selat Malaka cukup mengganggu perdagangan yang berlangsung dan membuat navigasi
tidak aman sehingga jalur perdagangan menjadi berantakan.
Situasi itu
perlahan berubah ketika Aceh digembur Portugis melalui bantuan dari Goa, India
saat mengepung Malaka yang dimulai pada 1627. Setelah gempuran itu, kekuatan
Aceh merosot. Meredupnya Aceh dimanfaatkan oleh Johor yang berhasil menjadi
penguasa tunggal di Selat Malaka setelah beraliansi dengan VOC yang kemudian
datang menghancurkan Portugis dan menguasai Malaka pada 1641.
Perjanjian
damai dan Imperium Riau-Johor
Pada 1641, Aceh
dan Johor sepakat berdamai melalui perjanjian yang dimediasi VOC. Dengan
perjanjian damai itu berakhirlah rivalitas keduanya di Selat Malaka. Portugis
yang berhasil dikalahkan mengundurkan diri ke Maluku lantas ke Timor Leste.
Aceh setelah perjanjian damai itu tidak segemilang seperti pada masa Sultan
Iskandar Muda. Kekuasaannya di Pantai Timur Sumatera lepas dan memerdekakan
diri sehingga kekuasaan hanya berada di wilayah yang sekarang menjadi Provinsi
Aceh. Pada 1873, Aceh diserang Belanda yang kebelet ingin mewujudkan
Pax-Nederlandica. Belanda baru bisa menaklukkan Aceh setelah melalui peperangan
panjang selama 200 tahun.
Sementara itu,
Johor mulai menegaskan kembali statusnya sebagai penerus Malaka dan penguasa
tunggal Selat Malaka. Pahang, yang tadinya di bawah Aceh, diambil alih oleh
Johor. Kesultanan ini juga meluaskan pengaruhnya ke Siak pada 1622 dan
Indragiri pada 1669, Singapura, dan Kepulauan Riau. Lahirlah Imperium
Riau-Johor. Sayangnya, Johor tidak bisa meluaskan pengaruhnya ke kesultanan di
Semenanjung Melayu Utara seperti Kedah, Terengganu, dan Perak. Sempat terganggu
oleh Jambi pada 1673, Johor kemudian berhasil menegaskan hegemoninya.
Kesultanan itu kemudian melemah karena konflik internal hingga datanglah
Inggris dan Belanda yang sepakat membagi wilayah kesultanan ke dalam milik
masing-masing. Wilayah Riau dan Kepulauan Riau berada dalam yuridiksi Belanda
sedangkan Singapura dan Semenanjung Melayu Selatan Inggris. Kini kedua wilayah
itu masing-masing berada di Indonesia dan Malaysia.
Ini adalah salah satu artikel yang memanipulasikan sejarah. Alias artikel ngaur. Saya tantang ada untuk menunjukkan referensi dari pada artikel ini. Sejarah aceh tidak seperti yang artikel ini tuliskan.
ReplyDelete